As-Saffaat 35-36
Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka:
(Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah)
mereka menyombongkan diri,dan mereka berkata:
"Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?"
21/12/2011
28/05/2011
26/04/2011
Mengenal seseorang
mengenal seseorang bukan karena kekuasaan tapi karena ibadah
kenali seseorang tanpa melihat dia anak kyai,pejabat,penjahat,dll.
kalau ingin menghormati,mengasihi.. kasihi saja tanpa melihat background (anak siapa,tinggal dimana,kerja apa). jangan merasa ingin di hormati
"oh..aku anak kyai.. dia harus hormat kepadaku"
"oh aku anak pejabat.. dia harus tunduk padaku.."
subhanallah... barangsiapa yang merasa kedudukannya (derajatnya)lebih tinggi di hadapan orang lain apalagi membodohi dengan merendahkan orang lain... maka sesungguhnya di hadapan Allah swt dia lebih rendah daripada binatang.
kenali seseorang tanpa melihat dia anak kyai,pejabat,penjahat,dll.
kalau ingin menghormati,mengasihi.. kasihi saja tanpa melihat background (anak siapa,tinggal dimana,kerja apa). jangan merasa ingin di hormati
"oh..aku anak kyai.. dia harus hormat kepadaku"
"oh aku anak pejabat.. dia harus tunduk padaku.."
subhanallah... barangsiapa yang merasa kedudukannya (derajatnya)lebih tinggi di hadapan orang lain apalagi membodohi dengan merendahkan orang lain... maka sesungguhnya di hadapan Allah swt dia lebih rendah daripada binatang.
03/04/2011
Mengenal Harta
Mengenal harta identiknya kerja,dalam pekerjaan belajar menempatkan diri seperti menyesuaikan diri kepada teman kerja maupun kepada boss, seringkali dan selalu terjadi. mungkin sebagian ingin di hormati,mungkin sebagian ingin berkuasa diseluruh karyawan,atau mungkin ingin wah dalam segalanya. Berangkat kerja niatnya ibadah namun dalam ruang kerja ia lupa bahwa Allah maha segala galanya.
ku belajar mengenal harta bukan karena memperkaya diri namun karena ibadah. kredit motor bukan karena ingin mempunyai tapi ingin menyayangi. padahal tiada fikiran untuk kredit.. tapi karena adik saya merintih pada ummi soal motor.. tanpa fikir panjang "gag usah di hiraukan,nanti ku belikan".ketika saya ditawari kredit motor,saya berusaha meyakinkan diri untuk menyetujui karena adik.
setelah motor saya datang,ternyata adik tidak suka dengan motor pilihan yang ada.
saya: "ya sudah pakai saja sementara,daripada tidak ada? nanti kalau sudah full kredit,jual saja buat DP motor yang kamu suka".
adik "gak usah,nanti aku beli sendiri saja"
hari berlanjut saya pun sangat jarang membawa stnk,ya memang yang sering keluar cuma adik saya . hingga beberapa bulan adik saya beli motor baru cash tambahan.
Alhamdulillaah...
untuk saat ini motor jarang dipakai.. yang pasti sebulan sekali itu pun untuk ngaji..
ku belajar mengenal harta bukan karena memperkaya diri namun karena ibadah. kredit motor bukan karena ingin mempunyai tapi ingin menyayangi. padahal tiada fikiran untuk kredit.. tapi karena adik saya merintih pada ummi soal motor.. tanpa fikir panjang "gag usah di hiraukan,nanti ku belikan".ketika saya ditawari kredit motor,saya berusaha meyakinkan diri untuk menyetujui karena adik.
setelah motor saya datang,ternyata adik tidak suka dengan motor pilihan yang ada.
saya: "ya sudah pakai saja sementara,daripada tidak ada? nanti kalau sudah full kredit,jual saja buat DP motor yang kamu suka".
adik "gak usah,nanti aku beli sendiri saja"
hari berlanjut saya pun sangat jarang membawa stnk,ya memang yang sering keluar cuma adik saya . hingga beberapa bulan adik saya beli motor baru cash tambahan.
Alhamdulillaah...
untuk saat ini motor jarang dipakai.. yang pasti sebulan sekali itu pun untuk ngaji..
27/03/2011
DI AMBANG PERTEMUAN
Sebaik-baik pergaulan di kalangan umat Islam ialah apabila bertemu saudaranya, dia menunjukkan tingkahlaku dengan perwatakan yang baik, manis muka serta menerima dengan penuh rasa gembira yang tidak terhingga. Reaksi seperti ini amat disukai oleh Allah dan Rasul-Nya, dan besar ertinya di sisi syariat Islam serta mendapat ganjaran pahala yang banyak. Rasulullah s.a.w. melarang umatnya menghina atau memandang rendah dan memperkecilkan orang lain ketika bertemu, dengan sabdanya:
‘Jangan sekali kati kamu menghinakan sesuatu yang baik dan kalaulah kamu bertemu saudaramu hendaklah dengan muka yang manis.’ (Riwayat Muslim)
Pengajaran di sebalik hadis di atas ialah Rasulullah s.a.w. menyuruh umatnya mengukir senyuman ketika bertemu dengan kawan atau sahabat dan juga sesarna saudara dalam, Islam kerana dengan senyuman dapat mengeratkan tali persaudaraan. Mulakanlah sesuatu pekerjaan itu dengan senyuman, kerana senyuman menceriakan suasana dan mententeramkan.
Salam
Amalan yang merupakan kemuliaan di sisi Allah ialah dengan memberi salam apabila bertemu di antara dua orang Islam. Perkara ini merupakan satu saranan oleh Allah ke atas hamba-Nya melalui firman-Nya:
“Apabila diucap dengan satu ucapan maka balas olehmu dengan ucapan yang lebih baik daripadanya atau jawab secara yang elok, sesungguhnya Allah ke atas setiap sesuatu akan diperhitungkan.” (Surah Al-Nisa': 86)
Melalui ayat ini Allah menyarankan agar hambanya mengamalkan ucapan yang baik ketika bertemu dengan saudara sesame Islam bagi menjaga kesejahteraan yang dianugerahkan oleh-Nya. Dengan demikian umat Islam hendaklah memberi salam. Setiap kali bertemu saudaranya iaitu yang terdiri daripada orang orang Islam sama ada kenal ataupun sebaliknya. (Rujuk Al-Razi: 544, 604H, hlm. 169. juzuk 10)
Dalil yang menegaskan kenyataan di atas melalui hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Urnar:
‘Bahawa seorang lelaki telah bertanya kepada Rasulullah s.a.w. yang mana satu antara amalan dalam Islam itu lebih baik? Jawab Rasulullah, Kamu memberi makan kepada orang yang memerlukannya dan mengucapkan salam ke atas sesiapa yang kamu kenal dan yang tidak kenal’ (Riwayat Bukhari Dan Muslim)
Cara Memberi Dan Menjawab Salam Serta Ganjarannya
Cara salam yang disyariatkan pada awal pertemuan diucap dengan salam:
‘Selamat sejahtera atas kamu dan rahmat Allah serta keberkatannya.’
Dan dijawab oleh saudaranya dengan berkata:
‘Dan ke atas kamu selamat sejahtera dan rahmat Allah serta keberkatannya.’
Memadai juga dengan kata bererti "kesejahteraan ke atas kamu" dan setiap jawapan ini akan mendapat ganjaran pahala, mengikut kadar ucapannya, iaitu sepuluh pahala atau kebaikan, jika ditambah "warahmatullah" akan digandakan lagi sepuluh pahala dan sekiranya ditambah "wabarakatuh" maka akan diberi tiga puluh pahala atau kebaikan kepadanya. Begitulahjuga sebaliknya bagi yang menjawab. Ganjaran pahala memberi dan menjawab salam ini telah dinyatakan dalam. hadis yang diriwayatkan oleh A'mran bin Hussaini.
Telah datang seorang lelaki kepada Nabi s.a.w. dan berkata, ‘Assalamualaikum’. Maka Rasulullah menjawab salam kemudian dia duduk. Maka Rasulullah berkata sepuluh pahala kemudian datang yang lain memberi salam dengan berkata ‘Assalamualaikum warahmatullah’, lalu Rasulullah jawab salam tadi, dan berkata dua puluh pahala. Kemudian datang yang ketiga terus berkata ‘Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh’. Rasulullah pun menjawab salam tadi dan terus duduk, maka Rasulullah berkata tiga puluh pahala. (Riwayat Oleh Abu Daud Tarmizi: Hadis Hasan)
Sekiranya kita renung di sini, didapati amat besar ganjaran pahala yang diberi oleh Allah kepada pemberi dan penerima salam yang telah diajar melalui sunnah Rasulullah s.a.w. di samping mengerat siratulrahim sesama Islam.
Salam Ke Arah Keutuhan Ummah
Berdasarkan demikian apakah pengertian dan maksud salam?
Salam bermakna memberi keamanan. Sewaktu kalimah salam diucap terhadap sescorang muslim dengan berkata sesungguhnya kita mengqasat dan mendoakan dijiwanya mempunyai ketenangan, ketenteraman, gembira dan bahagia sepanjang masa, begitu juga sebaliknya harapan dari yang menjawab terhadap pemberi salam. Dengan demikian terlerailah segala perasaan hasad dengki, dendam kesumat dan sebagainya, sebaliknya tersemai dan terjalinlah perasaan persaudaraan antara satu sama lain. Kemanisan wajah yang tersenyum manis dan keramahan yang diadunkan dengan gerak geri beradab, sopan santun bersama kehalusan budi akan mengeratkan tali persaudaraan dengan adanya kalimah salam yang diucapkan. Maka di kala itu, bayangan persengketaan jauh sekali. Itulah amalan muslim ke arah keutuhan umah. (Rujuk Al-Hafiz Zakiyuddin Abdul 'Azmi bin 'Abdul Qauni Al-Munzari 1987M bersarnaan 1407H. 426-428)
Hukum Memberi Salam
Salam merupakan asas bagi setiap muslim dan muslimah yang perlu diketahui dan dijadikan pegangan serta amalan dalam pergaulan harian. Hukum memberikan salarn itu adalah "sunat" dan Nabi Muhammad s.a.w. melakukan demikian serta melazimi dan membiasakan diri dengan memberi salam. Manakala hukum menjawab salam pula adalah "wajib" iaitu sekiranya tidak menjawab hukumnya berdosa. (Rujuk Imam Al-Hafiz Abi Muhd. 'Abdul Rahman b. 'Abdul Rahim. 1353H. 469)
Maka di sini berdasarkan firman Allah yang tersebut di atas iaitu:
“Dan apabila diucap dengan satu ucapan maka balas olehmu dengan ucapan yang lebih baik daripadanya atau jawab secara yang elok. Sesungguhnya Allah ke atas setiap sesuatu akan di perhitungkan.” (Surah Al-Nisa': 86)
Melalui ayat ini Allah menyuruh kita mengucapkan sesuatu yang baik dan bermakna seperti salam atau seumpamanya yang menandakan penghormatan terhadap orang lain seperti tabik, lambaian tangan dan sebagainya. Maka dengan itu kita hendaklah membalasnya dengan sebaik mungkin kerana Allah Maha Mengetahui tentang segala yang dilakukan oleh hamba-Nya sama ada melalui amalan dan niat. Inilah yang dihitungkan ke atas hamba-Nya. Dari ayat di atas Rasulullah s.a.w. menjelaskan melalui sepotong hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah berbunyi begini:
‘Memberi salam oleh yang berkenderaan ke atas yang berjalan, yang berjalan ke atas yang duduk, yang sedikit ke atas yang hanyak dan pada satu riwayat yang kecil ke atas yang besar". (Riwayat Al Bukhari)
Hadis ini rnemberi pengajaran bahawa salam itu merupakan satu penghormatan dari seorang kepada orang lain dalam Islam. Ucapan salam, itu tidak semestinya dilakukan dengan perkataan tetapi juga boleh dilakukan dengan isyarat seperti membunyikan hon kenderaaan ketika mernandu. Dengan perkataan lain ucapan salam ini boleh dilakukan melalui pelbagai cara mengikut keadaan waktu dan tempat. (Rujuk Syamsul Al-Haq Al-Azim. Al-Abadi 1979, hlm. 100-101)
Peringatan
Selain itu sebagai peringatan, apabila seorang lelaki memberi salam kepada seorang wanita yang mana pemberi salarn itu tidak dikenali, maka hendaklah dipastikan terlebih dahulu tujuannya. Mungkin mereka hendak menggoda atau sengaja nakal hendak mengusik dan sebagainya. Maka dalam keadan begini salam tersebut tidak wajib dijawab pada syarak, kerana ia akan membuka peluang untuk lelaki tadi mendekati wanita serta menyempurnakan niat jahat yang boleh mendatangkan padah kepada kaum wanita, berdasarkan kaedah feqah iaitu menolak keburukan perlu diawasi terlebih dahulu daripada mencari sebarang kebaikan.
Bersalaman
Bersalaman atau berjabat tangan dalam kehidupan seharian lebih menjurus kepada adat atau kebiasaan sahaja, namun kita tidak pernah mendalami hakikat sebenar melalui syariat Islam. Maka di sini saya ingin menjelaskarmya melalui hadis Rasulullah s.a.w., yang dilakukan oleh Rasulullah dan sahabat sahabatnya serta jaminan ganjaran yang diberi oleh Allah terhadap dua saudara Islam bila bersalaman antara satu sama lain ketikamana mereka bersua dan di mana sahaja mereka berjumpa.
Peranan Bersalaman Dalam Kehidupan Muslim
Peranan bersalaman boleh dikatakan sebagai satu penghormatan atau tanda kemesraan antara individu dengan yang lain ketika mereka bertemu. Maka eloklah kedua duanya bersalaman atau berjabat tangan kerana perbuatan itu akan membuahkan kemesraan dan kasih sayang, perkenalan dan persahabatan serta mendapat ganjaran pahala yang besar di sisi Allah ke atas hamba-Nya. Berdasarkan dalil yang telah ditegaskan olch Rasulullah dengan sabdanya:
‘Sesungguhnya seorang muslim itu apabila bertemu saudaranya lalu bersalaman oleh kedua duanya, maka gugurlah dosa mereka sepertimana berguguran daun dari pokok yang kering ditiup angin kencang, melainkan kedua duanya diampunkan segala dosa mercka walaupun banyak seperti buih di lautan.’ (Riwayat Thibrani)
Begitu juga apabila tiba masanya sescorang sahabat dari perantauan disambut olch keluarga dan saudara mara, sahabat handai, maka tidak mengapa sambutan itu dilakukan dengan saling bersalaman dan berpelukan sebagai tanda kegembiraan sepertimana hadis Rasulullah s.a.w.:
‘Keadaan sahabat Rasulullah apabila mereka bertemu mereka bersalaman dengan berjabat tangan, dan apabila mereka menyambut kepulangan yang jauh mereka berpelukan.’ (Riwayat Abu Daud)
Oleh yang demikian syariat tetap mengakui bahawa bersalaman atau berjabat tangan memainkan peranan penting ke arah pengukuhan ummah dengan jalinan silaturahim antara satu sama lain, sepertimana yang diterangkan dalam hadis yang lain.
‘Apabila bertemu antara dua orang muslim lalu kedua duanya bersalaman dan memuji Allah lalu kedua duanya meminta ampun kepada Allah, Allah mengampunkan dosa kedua duanya.’ (Riwayat Abu Daud)
Hadis ini memberi fahaman kepada kita bahawa persaudaraan Islam memainkan peranan yang amat besar dalam mengukuhkan sesuatu masyarakat dan bangsa itu sendiri ke arah menjalinkan perpaduan kaum secara sihat dan harmoni serta dalam keredhaan Allah selalu. Hal ini sepertimana dijelaskan melalui hadis di atas. Namun demikian perlu diingatkan bahawa bejabat tangan itu hanya dibolehkan lelaki dengan lelaki dan perempuan dengan perempuan sabaja.
Di samping itu Islam membolehkan bersalaman antara lelaki Islam dengan lelaki bukan Islam. Begitujuga perempuan Islam dibolehkan bersalaman dengan perempuan bukan Islam, dengan maksud supaya tidak rasa kecil hati atau tersisih serta bertujuan bagi mewujudkan perpaduan ke arah keamanan hidup semata-mata.
Hukum Bersalaman Lelaki Perempuan
Syariat Islam melarang sama sekali untuk bersalaman antara lelaki dan perempuan yang tidak ada pertalian persaudaraan. Ringkasnya yang batal air sembahyang dan dibolehkan berkahmin, melainkan dengan berlapik. Apa yang dinyatakan di atas berdasarkan mazhab Syafie dan juga telah dinyatakan oleh Sheikh 'Athiah Saqar dari Majlis Fatwa Al Azhar dengan katanya berdasarkan kaedah mazhab Syafie:
‘Tidak halal bersalarnan antara lelaki dan perempuan melainkan dengan berlapik.’
Ini berdasarkan ayat al Quran yang berbunyi:
“Ataupun kamu sentuh wanita maka tiada kernudahan air untuk kamu berwuduk maka hendaklah karnu tayammum dengan tanah yang suci.” (Surah Al-Nisa': 43)
Berdasarkan ayat ini mengilcut mazhab Imam Syafie adalah batal wuduk sekiranya bersentuh lelaki dengan perempuan, maka dengan demikian adalah haram bersentuhan dengan sengaja sama ada secara bersalaman atau lainnya. Sama ada dengan rasa keinginan atau tidak, bersalaman tidak boleh kecuali dengan berlapik atau beralas.
Manakala jumhur, iaitu (Hanafi, Maliki dan Hambali) berpendapat tidak mengapa sekadar bersalarnan antara lelaki dan perempuan sekiranya tidak ada keinginan nafsu antara mereka.
Walau bagaimanapun menurut fatwa Sheikh Mohd Mutwalli al-Sha'rawi menyatakan bahawa tidak digalakkan bersalaman antara lelaki dengan perempuan sekalipun disertakan dengan niat sekadar bersalaman sahaja. Kerana ini adalah peraturan dari hukum syarak ditakuti akan wujud bibit-bibit keinginan nafsu syahwat melalui antara dua tangan yang bersalaman tadi. (Rujuk Muhd. Mutwali Al-Sya'rawi. T.T. 157).
Menurut mazhab Syafie seandainya bersalaman tanpa lapik adalah berdosa kerana sentuhan di antara dua tangan yang bukan mahramnya (bukan ibu bapa atau saudaranya) wajiblah beristighfar dan bertaubat memohon keampunan dari Allah. (Rujuk Al-Imam Abi Zakaria Yahya bin Syarafi Al-Nawawi Al-Demsyacli. 1992. hlm. 185-186).
Masalah ini jika hendak diperkatakan dianggap sesuatu yang ringan dan remeh di kalangan orang Islam. Sebenamya ia adalah besar dan berat di sisi Allah dan di sudut akhlak orang Islam, lebih-lebih lagi di kalangan anak-anak muda dan remaja kerana ini membawa saharn kepada gejala gejala yang lebih besar. Sebab itulah dari menularnya permasalahan yang lebih besar maka jalanjalan yang mendorong ke arahnya mesti dihalang terlebih dahulu. Soal ini ditegaskan berdasarkan hadis Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh Ma'qal bin Yasar telah menceritakan bahawa Rasulullah pernah bersabda dengan katanya:
‘Sekiranya ditikam di kepala seseorang kamu dengan sebatang besi adalah lehih haik baginya dari menyentub kulit wanita yang tidak halal untuk disentuh.’ (Riwayat Baihaki)
Hadis ini menunjukkan bahawa syariat Islam menegah sama sekali menyentuh jasad wanita yang sihat dan sempurna serta normal, kecuali apabila wanita itu didapati sakit atau memberi pertolongan cemas ataupun dengan maksud mengubat, maka ini dibolehkan di sisi syariat sekadar yang sepatutnya dengan ertikata memberi pertolongan serta disaksi olch orang lain iaitu bukan herdua duaan dan tidak sekali kali melampaui batasan. (Rujuk Muhd. 'Abdul Raof Al-Manawi. 1972. hlrn. 258)
Cara Memberi Salam Antara Lelaki Dan Wanita
Suka dinyatakan di sim bahawa Rasulullah s.a.w. sentiasa memberi salam kepada kaum wanita dengan ucapan ‘Assalamualikum’ serta memberi isyarat sebagai penghormatan dengan mengangkat tangan sahaja dan tidak bersalaman dengan berjabat tangan. Soal ini telah diceritakan oleh Asma' binti Yazid melalui sepotong hadis:
‘Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah melambai di perkarangan masjid pada suatu hari didapati sekumpulan kaum wanita sedang duduk di sisi masjid. Maka Rasulullah s.a.w. mengangkat tangannya sebagai tanda penghornnatan dengan mengucapkan kalimah salam.’ (Riwayat Tarmizi)
Demikianlah perbezaan amalan bersalaman antara lelaki dan perempuan namun ganjarannya adalah sama di sisi Allah dengan mendoakan semoga selamat sejahtera, asalkan salam yang diberi itu betul dan ikhlas, Allah sahaja yang membalas.
‘Jangan sekali kati kamu menghinakan sesuatu yang baik dan kalaulah kamu bertemu saudaramu hendaklah dengan muka yang manis.’ (Riwayat Muslim)
Pengajaran di sebalik hadis di atas ialah Rasulullah s.a.w. menyuruh umatnya mengukir senyuman ketika bertemu dengan kawan atau sahabat dan juga sesarna saudara dalam, Islam kerana dengan senyuman dapat mengeratkan tali persaudaraan. Mulakanlah sesuatu pekerjaan itu dengan senyuman, kerana senyuman menceriakan suasana dan mententeramkan.
Salam
Amalan yang merupakan kemuliaan di sisi Allah ialah dengan memberi salam apabila bertemu di antara dua orang Islam. Perkara ini merupakan satu saranan oleh Allah ke atas hamba-Nya melalui firman-Nya:
“Apabila diucap dengan satu ucapan maka balas olehmu dengan ucapan yang lebih baik daripadanya atau jawab secara yang elok, sesungguhnya Allah ke atas setiap sesuatu akan diperhitungkan.” (Surah Al-Nisa': 86)
Melalui ayat ini Allah menyarankan agar hambanya mengamalkan ucapan yang baik ketika bertemu dengan saudara sesame Islam bagi menjaga kesejahteraan yang dianugerahkan oleh-Nya. Dengan demikian umat Islam hendaklah memberi salam. Setiap kali bertemu saudaranya iaitu yang terdiri daripada orang orang Islam sama ada kenal ataupun sebaliknya. (Rujuk Al-Razi: 544, 604H, hlm. 169. juzuk 10)
Dalil yang menegaskan kenyataan di atas melalui hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Urnar:
‘Bahawa seorang lelaki telah bertanya kepada Rasulullah s.a.w. yang mana satu antara amalan dalam Islam itu lebih baik? Jawab Rasulullah, Kamu memberi makan kepada orang yang memerlukannya dan mengucapkan salam ke atas sesiapa yang kamu kenal dan yang tidak kenal’ (Riwayat Bukhari Dan Muslim)
Cara Memberi Dan Menjawab Salam Serta Ganjarannya
Cara salam yang disyariatkan pada awal pertemuan diucap dengan salam:
‘Selamat sejahtera atas kamu dan rahmat Allah serta keberkatannya.’
Dan dijawab oleh saudaranya dengan berkata:
‘Dan ke atas kamu selamat sejahtera dan rahmat Allah serta keberkatannya.’
Memadai juga dengan kata bererti "kesejahteraan ke atas kamu" dan setiap jawapan ini akan mendapat ganjaran pahala, mengikut kadar ucapannya, iaitu sepuluh pahala atau kebaikan, jika ditambah "warahmatullah" akan digandakan lagi sepuluh pahala dan sekiranya ditambah "wabarakatuh" maka akan diberi tiga puluh pahala atau kebaikan kepadanya. Begitulahjuga sebaliknya bagi yang menjawab. Ganjaran pahala memberi dan menjawab salam ini telah dinyatakan dalam. hadis yang diriwayatkan oleh A'mran bin Hussaini.
Telah datang seorang lelaki kepada Nabi s.a.w. dan berkata, ‘Assalamualaikum’. Maka Rasulullah menjawab salam kemudian dia duduk. Maka Rasulullah berkata sepuluh pahala kemudian datang yang lain memberi salam dengan berkata ‘Assalamualaikum warahmatullah’, lalu Rasulullah jawab salam tadi, dan berkata dua puluh pahala. Kemudian datang yang ketiga terus berkata ‘Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh’. Rasulullah pun menjawab salam tadi dan terus duduk, maka Rasulullah berkata tiga puluh pahala. (Riwayat Oleh Abu Daud Tarmizi: Hadis Hasan)
Sekiranya kita renung di sini, didapati amat besar ganjaran pahala yang diberi oleh Allah kepada pemberi dan penerima salam yang telah diajar melalui sunnah Rasulullah s.a.w. di samping mengerat siratulrahim sesama Islam.
Salam Ke Arah Keutuhan Ummah
Berdasarkan demikian apakah pengertian dan maksud salam?
Salam bermakna memberi keamanan. Sewaktu kalimah salam diucap terhadap sescorang muslim dengan berkata sesungguhnya kita mengqasat dan mendoakan dijiwanya mempunyai ketenangan, ketenteraman, gembira dan bahagia sepanjang masa, begitu juga sebaliknya harapan dari yang menjawab terhadap pemberi salam. Dengan demikian terlerailah segala perasaan hasad dengki, dendam kesumat dan sebagainya, sebaliknya tersemai dan terjalinlah perasaan persaudaraan antara satu sama lain. Kemanisan wajah yang tersenyum manis dan keramahan yang diadunkan dengan gerak geri beradab, sopan santun bersama kehalusan budi akan mengeratkan tali persaudaraan dengan adanya kalimah salam yang diucapkan. Maka di kala itu, bayangan persengketaan jauh sekali. Itulah amalan muslim ke arah keutuhan umah. (Rujuk Al-Hafiz Zakiyuddin Abdul 'Azmi bin 'Abdul Qauni Al-Munzari 1987M bersarnaan 1407H. 426-428)
Hukum Memberi Salam
Salam merupakan asas bagi setiap muslim dan muslimah yang perlu diketahui dan dijadikan pegangan serta amalan dalam pergaulan harian. Hukum memberikan salarn itu adalah "sunat" dan Nabi Muhammad s.a.w. melakukan demikian serta melazimi dan membiasakan diri dengan memberi salam. Manakala hukum menjawab salam pula adalah "wajib" iaitu sekiranya tidak menjawab hukumnya berdosa. (Rujuk Imam Al-Hafiz Abi Muhd. 'Abdul Rahman b. 'Abdul Rahim. 1353H. 469)
Maka di sini berdasarkan firman Allah yang tersebut di atas iaitu:
“Dan apabila diucap dengan satu ucapan maka balas olehmu dengan ucapan yang lebih baik daripadanya atau jawab secara yang elok. Sesungguhnya Allah ke atas setiap sesuatu akan di perhitungkan.” (Surah Al-Nisa': 86)
Melalui ayat ini Allah menyuruh kita mengucapkan sesuatu yang baik dan bermakna seperti salam atau seumpamanya yang menandakan penghormatan terhadap orang lain seperti tabik, lambaian tangan dan sebagainya. Maka dengan itu kita hendaklah membalasnya dengan sebaik mungkin kerana Allah Maha Mengetahui tentang segala yang dilakukan oleh hamba-Nya sama ada melalui amalan dan niat. Inilah yang dihitungkan ke atas hamba-Nya. Dari ayat di atas Rasulullah s.a.w. menjelaskan melalui sepotong hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah berbunyi begini:
‘Memberi salam oleh yang berkenderaan ke atas yang berjalan, yang berjalan ke atas yang duduk, yang sedikit ke atas yang hanyak dan pada satu riwayat yang kecil ke atas yang besar". (Riwayat Al Bukhari)
Hadis ini rnemberi pengajaran bahawa salam itu merupakan satu penghormatan dari seorang kepada orang lain dalam Islam. Ucapan salam, itu tidak semestinya dilakukan dengan perkataan tetapi juga boleh dilakukan dengan isyarat seperti membunyikan hon kenderaaan ketika mernandu. Dengan perkataan lain ucapan salam ini boleh dilakukan melalui pelbagai cara mengikut keadaan waktu dan tempat. (Rujuk Syamsul Al-Haq Al-Azim. Al-Abadi 1979, hlm. 100-101)
Peringatan
Selain itu sebagai peringatan, apabila seorang lelaki memberi salam kepada seorang wanita yang mana pemberi salarn itu tidak dikenali, maka hendaklah dipastikan terlebih dahulu tujuannya. Mungkin mereka hendak menggoda atau sengaja nakal hendak mengusik dan sebagainya. Maka dalam keadan begini salam tersebut tidak wajib dijawab pada syarak, kerana ia akan membuka peluang untuk lelaki tadi mendekati wanita serta menyempurnakan niat jahat yang boleh mendatangkan padah kepada kaum wanita, berdasarkan kaedah feqah iaitu menolak keburukan perlu diawasi terlebih dahulu daripada mencari sebarang kebaikan.
Bersalaman
Bersalaman atau berjabat tangan dalam kehidupan seharian lebih menjurus kepada adat atau kebiasaan sahaja, namun kita tidak pernah mendalami hakikat sebenar melalui syariat Islam. Maka di sini saya ingin menjelaskarmya melalui hadis Rasulullah s.a.w., yang dilakukan oleh Rasulullah dan sahabat sahabatnya serta jaminan ganjaran yang diberi oleh Allah terhadap dua saudara Islam bila bersalaman antara satu sama lain ketikamana mereka bersua dan di mana sahaja mereka berjumpa.
Peranan Bersalaman Dalam Kehidupan Muslim
Peranan bersalaman boleh dikatakan sebagai satu penghormatan atau tanda kemesraan antara individu dengan yang lain ketika mereka bertemu. Maka eloklah kedua duanya bersalaman atau berjabat tangan kerana perbuatan itu akan membuahkan kemesraan dan kasih sayang, perkenalan dan persahabatan serta mendapat ganjaran pahala yang besar di sisi Allah ke atas hamba-Nya. Berdasarkan dalil yang telah ditegaskan olch Rasulullah dengan sabdanya:
‘Sesungguhnya seorang muslim itu apabila bertemu saudaranya lalu bersalaman oleh kedua duanya, maka gugurlah dosa mereka sepertimana berguguran daun dari pokok yang kering ditiup angin kencang, melainkan kedua duanya diampunkan segala dosa mercka walaupun banyak seperti buih di lautan.’ (Riwayat Thibrani)
Begitu juga apabila tiba masanya sescorang sahabat dari perantauan disambut olch keluarga dan saudara mara, sahabat handai, maka tidak mengapa sambutan itu dilakukan dengan saling bersalaman dan berpelukan sebagai tanda kegembiraan sepertimana hadis Rasulullah s.a.w.:
‘Keadaan sahabat Rasulullah apabila mereka bertemu mereka bersalaman dengan berjabat tangan, dan apabila mereka menyambut kepulangan yang jauh mereka berpelukan.’ (Riwayat Abu Daud)
Oleh yang demikian syariat tetap mengakui bahawa bersalaman atau berjabat tangan memainkan peranan penting ke arah pengukuhan ummah dengan jalinan silaturahim antara satu sama lain, sepertimana yang diterangkan dalam hadis yang lain.
‘Apabila bertemu antara dua orang muslim lalu kedua duanya bersalaman dan memuji Allah lalu kedua duanya meminta ampun kepada Allah, Allah mengampunkan dosa kedua duanya.’ (Riwayat Abu Daud)
Hadis ini memberi fahaman kepada kita bahawa persaudaraan Islam memainkan peranan yang amat besar dalam mengukuhkan sesuatu masyarakat dan bangsa itu sendiri ke arah menjalinkan perpaduan kaum secara sihat dan harmoni serta dalam keredhaan Allah selalu. Hal ini sepertimana dijelaskan melalui hadis di atas. Namun demikian perlu diingatkan bahawa bejabat tangan itu hanya dibolehkan lelaki dengan lelaki dan perempuan dengan perempuan sabaja.
Di samping itu Islam membolehkan bersalaman antara lelaki Islam dengan lelaki bukan Islam. Begitujuga perempuan Islam dibolehkan bersalaman dengan perempuan bukan Islam, dengan maksud supaya tidak rasa kecil hati atau tersisih serta bertujuan bagi mewujudkan perpaduan ke arah keamanan hidup semata-mata.
Hukum Bersalaman Lelaki Perempuan
Syariat Islam melarang sama sekali untuk bersalaman antara lelaki dan perempuan yang tidak ada pertalian persaudaraan. Ringkasnya yang batal air sembahyang dan dibolehkan berkahmin, melainkan dengan berlapik. Apa yang dinyatakan di atas berdasarkan mazhab Syafie dan juga telah dinyatakan oleh Sheikh 'Athiah Saqar dari Majlis Fatwa Al Azhar dengan katanya berdasarkan kaedah mazhab Syafie:
‘Tidak halal bersalarnan antara lelaki dan perempuan melainkan dengan berlapik.’
Ini berdasarkan ayat al Quran yang berbunyi:
“Ataupun kamu sentuh wanita maka tiada kernudahan air untuk kamu berwuduk maka hendaklah karnu tayammum dengan tanah yang suci.” (Surah Al-Nisa': 43)
Berdasarkan ayat ini mengilcut mazhab Imam Syafie adalah batal wuduk sekiranya bersentuh lelaki dengan perempuan, maka dengan demikian adalah haram bersentuhan dengan sengaja sama ada secara bersalaman atau lainnya. Sama ada dengan rasa keinginan atau tidak, bersalaman tidak boleh kecuali dengan berlapik atau beralas.
Manakala jumhur, iaitu (Hanafi, Maliki dan Hambali) berpendapat tidak mengapa sekadar bersalarnan antara lelaki dan perempuan sekiranya tidak ada keinginan nafsu antara mereka.
Walau bagaimanapun menurut fatwa Sheikh Mohd Mutwalli al-Sha'rawi menyatakan bahawa tidak digalakkan bersalaman antara lelaki dengan perempuan sekalipun disertakan dengan niat sekadar bersalaman sahaja. Kerana ini adalah peraturan dari hukum syarak ditakuti akan wujud bibit-bibit keinginan nafsu syahwat melalui antara dua tangan yang bersalaman tadi. (Rujuk Muhd. Mutwali Al-Sya'rawi. T.T. 157).
Menurut mazhab Syafie seandainya bersalaman tanpa lapik adalah berdosa kerana sentuhan di antara dua tangan yang bukan mahramnya (bukan ibu bapa atau saudaranya) wajiblah beristighfar dan bertaubat memohon keampunan dari Allah. (Rujuk Al-Imam Abi Zakaria Yahya bin Syarafi Al-Nawawi Al-Demsyacli. 1992. hlm. 185-186).
Masalah ini jika hendak diperkatakan dianggap sesuatu yang ringan dan remeh di kalangan orang Islam. Sebenamya ia adalah besar dan berat di sisi Allah dan di sudut akhlak orang Islam, lebih-lebih lagi di kalangan anak-anak muda dan remaja kerana ini membawa saharn kepada gejala gejala yang lebih besar. Sebab itulah dari menularnya permasalahan yang lebih besar maka jalanjalan yang mendorong ke arahnya mesti dihalang terlebih dahulu. Soal ini ditegaskan berdasarkan hadis Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh Ma'qal bin Yasar telah menceritakan bahawa Rasulullah pernah bersabda dengan katanya:
‘Sekiranya ditikam di kepala seseorang kamu dengan sebatang besi adalah lehih haik baginya dari menyentub kulit wanita yang tidak halal untuk disentuh.’ (Riwayat Baihaki)
Hadis ini menunjukkan bahawa syariat Islam menegah sama sekali menyentuh jasad wanita yang sihat dan sempurna serta normal, kecuali apabila wanita itu didapati sakit atau memberi pertolongan cemas ataupun dengan maksud mengubat, maka ini dibolehkan di sisi syariat sekadar yang sepatutnya dengan ertikata memberi pertolongan serta disaksi olch orang lain iaitu bukan herdua duaan dan tidak sekali kali melampaui batasan. (Rujuk Muhd. 'Abdul Raof Al-Manawi. 1972. hlrn. 258)
Cara Memberi Salam Antara Lelaki Dan Wanita
Suka dinyatakan di sim bahawa Rasulullah s.a.w. sentiasa memberi salam kepada kaum wanita dengan ucapan ‘Assalamualikum’ serta memberi isyarat sebagai penghormatan dengan mengangkat tangan sahaja dan tidak bersalaman dengan berjabat tangan. Soal ini telah diceritakan oleh Asma' binti Yazid melalui sepotong hadis:
‘Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah melambai di perkarangan masjid pada suatu hari didapati sekumpulan kaum wanita sedang duduk di sisi masjid. Maka Rasulullah s.a.w. mengangkat tangannya sebagai tanda penghornnatan dengan mengucapkan kalimah salam.’ (Riwayat Tarmizi)
Demikianlah perbezaan amalan bersalaman antara lelaki dan perempuan namun ganjarannya adalah sama di sisi Allah dengan mendoakan semoga selamat sejahtera, asalkan salam yang diberi itu betul dan ikhlas, Allah sahaja yang membalas.
26/03/2011
Twitter is Over Capacity?
Sudah dua kali saya mendapati pesan seperti ini di Twitter.com. Saat situs ini kelebihan kapasitas, dia akan menampilkan sebuah halaman dengan gambar ikan paus besar yang pingsan sedang berusaha digotong ramai-ramai dengan tali oleh delapan burung.

Halaman ini terlihat lucu dan inovatif. Pada halaman ini terdapat teks:
Twitter is Over Capacity. Please wait a moment and try again. For information, check out Twitter status.
Apabila bebannya tidak terlalu berat, dengan me-refresh kembali halaman tersebut beberapa kali, halaman yang sebenarnya akan kembali pulih.
Apakah anda pernah mengalaminya juga?
24/03/2011
HATI ASAS PERGAULAN
Dalam kehidupan, manusia tidak dapat lari dari pergaulan rakan dan taulan. Asas utama yang menjadi kunci adalah hati yang menjadi peranan penting dalamjiwa dan kehidupan Muslim untuk menegak iman yang kuat serta jati diri yang berasaskan ketakwaan kepada Allah serta mengingati-Nya dengan berzikir dan berselawat kepada Rasulullah sepanjang masa.
Firman Allah dalam surah al-Anfal 8, ayat 2 menyentuh kepentingan hati:
“Sesunguhnya orang orang beriman itu apabila mereka menyebut Allah terasa gementarlah hati-hati mereka.”
Iman menunjukkan keikhlasan hati yang sihat akan membuahkan keimanan yang kuat dan akan membawa kepada jiwa yang bersih serta fikiran yang bernas dan menampakkan keikhlasan dalam pergaulan.
Hati membayangkan keikhlasan iman seseorang berdasarkan apa yang diungkapkan oleh lidah atau gerak geri dan tingkah laku dalam pergaulan harian, ini sudah dapat difahami bahawa itu adalah kehendak hati walaupun tiada sebarang penjelasan melalui percakapan.
Sekiranya hati sentiasa sihat pergaulan dan persahabatan sentiasa mesra dan bahagia. Sebaliknya andai hati tidak sihat maka tidak ada tolak ansur dalam pergaulan. Setiap tindakan sudah ketara tidak ikhlas dan boleh membawa kepada munafik disebabkan sering kali berbohong dan berdolak dalik mencari helah bagi melindung diri dari penipuan.
Begitulah peranan hati dalam menjalani kehidupan di dunia ini, tetapi setiap insan sering kali melupai bahawa segala tindakan di dunia ini adalah penentuan habuan yang akan sampai di antara dua persimpangan di hari pembalasan sama ada baik atau buruk, ke syurga atau neraka. Malangnya jalan yang dilalui dalam kehidupan setiap insan sentiasa melalaikan kecuali yang beriman. Lantaran itu Rasulullah sentiasa memberi peringatan terhadap umatnya melalui sabda baginda:
‘Kasihilah olehmu akan saudara kamu seperti mana kamu kasih kepada diri kamu sendiri.’
Baik Buruk Peranan Hati
Hati merupakan asas yang sangat penting dan tersembunyi dalam diri setiap insan. la memainkan peranan yang sangat bermakna dalam kehidupan seharian. Rasulullah s.a.w. menyatakan soal hati seperti berikut:
‘Ketahuilah kamu di dalam badan manusia terdapat segumpal darah. Apabila baik maka baiklah keseluruhan segala perbuatannya dan apabila buruk maka buruklah keseluruhan tingkah lakunya. Ketahuilah kamu bahawa ia adalah hati’
Berdasarkan hadis di atas bahawa kebaikan manusia atau keburukannya datang dari hati, kerana hati adalah pengarah bagi pancaindera yang lahir. Jika hatinya baik maka baiklah segala perbuatannya serta rasa senang setiap rakan taulan mendekatinya dalam pergaulan. Andai hatinya buruk dan busuk, maka segala perbuatannya akan jahat dan keji, sentiasa cenderung ke arah maksiat mengikut kehendak hati dan hawa nafsu, dan pernikirannya ketika itu pula akan kalah dan sentiasa diketepikan. Oleh itu, hati adalah raja bagi seluruh anggota, manakala anggota-anggotanya yang lain adalah tentera. Anggota-anggota ini sering melakukan sesuatu mengikut kehendak hati. Andai baik hati maka baiklah dalam pergaulan. Andai sebaliknya, maka kawan dan rakan seringl kali menjadi mangsa. Dalam masalah ini Allah s.w.t sentiasa mengingatkan kepada hamba Nya melalui firman Nya dalam al Quran, surah al Syu'ara' 26, ayat 88-89 yang berbunyi:
“Di hari yang tidak ada manfaat sama ada harta benda begitu juga anak-anak melainkan sesiapa yang menghadap Allah dengan hati yang suci murni (iaitu penuh keikhlasan) kerana Allah semata-mata.”
Hati yang amat dihargai di sisi Allah ialah hati yang suci bersih dari sebarang maksiat, syubhah, hasad dengki dan seterusnya perkara perkara yang makruh atau yang dibenci oleh Allah. Sebab itu Rasulullah s.a.w sentiasa berdoa kepada Allah dengan sabdanya:
‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon darimu hati yang suci bersih’
Walaupun Rasulullah s.a.w seorang yang maksum, tetapi ia sentiasa berdoa supaya hatinya suci bersih. Hal ini adalah bertujuan sebagai pengajaran kepada umatnya.
Dengan demikian hati yang suci bersih dari sebar ang kekejian itu ialah hati yang bersih dari segala penyakit yang dibenci oleh Allah seperti hasad, dengki, dendam, iri hati, cemburu di atas kejayaan orang lain atau merancang sesuatu yang tidak baik bertujuan menganiaya orang lain dan sebagainya.
Seandainya tidak ada perkara perkara yang tersebut di atas, sudah tentu hati itu akan sentiasa kasih kepada Allah dengan melakulcan perkara perkara yang diredai oleh Allah dengan rasa ikhlas. Rakan dan taulan juga menyenanginya dalam pergaulan dan Allah sentiasa mengasihinya.
Situasi ini sangat dititikberatkan oleh syariat kerana hati memainkan peranan penting ke arah mengukuhkan keimanan dan memantapkan keyakinan akidah seseorang yang beriman kepada Allah berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w yang berbunyi:
‘Tidak tetap iman seseorang hamba sehinggalah tetap pendirian nya.’
Bagi menentukan ketetapan iman atau sebaliknya dengan herdasarkan segala amalan anggota lahiriah yang berlandaskan niat hati kerana kejujuran amalan itu tidak wujud melainkan terletak pada hati yang ikhlas.
Tetap Pendirian
Istilah tetap pendirian boleh diertikan dengan jati diri dan dalam bahasa Arab disebut istiqaah qulub seperti mana tersebut dalam hadis di atas. Bagi seseorang yang tetap pendiriannya, ia tidak mudah dipengaruhi olch mana mana unsur yang tidak baik atau hasutan jahat yang boleh membawa kemusnahan diri. Apabila disentuh soal keimanan pula, seseorang yang tetap pendirian itu disebut sebagai kuat iman atau warak, iaitu hatinya sentiasa merasa ingat dan patuh kepada suruhan dan perintah Allah dan sentiasa melakukan sesuatu ke arah yang diredai oleh Allah sepanjang hayatnya secara baik dan sabar. Sebab itulah sekiranya Allah mahu hambanya baik, maka diperelokkan isi hatinya dengan mengenali Allah dan sifatnya serta memahami segala ilmu agama dan hikmah keagungan ilmu itu sendiri. Manakala jiwanya merasai betapa nikmatnya memahami sesuatu bidang ilmu dengan mendalam dan baik dengan merasai kemanisan ilmu seperti mana ia merasai kemanisan iman. Pepatah Arab ada menyatakan:
‘Kemanisan ilmu bila dikuasai oleh orang yang ada kemanisan iman bagaikan kemanisan tamar yang terhidang di hadapan orang yang sedang berbuka puasa.’
Pepatah ini menggambarkan perwatakan orang yang beriman dan berilmu apabila disertai dengan kesabaran terasa senang dan tenang serta sejuk setiap mata yang memandang.
Itulah peranan hati dalam kehidupan. Hati dapat mencorak kewibawaan seseorang melalui gerak geri dan perilaku yang disenangi dalam pergaulan harian sama ada di tempat kerja seperti majikan dengan pekerjanya atau sebaliknya ataupun di mana sahaja atau sesiapa yang berdamping dengannya. Sesiapa juga yang ada kaitan dalam melaksanakan sesuatu perbincangan dan tunjuk ajar darinya sering kali tidak mudah melatah dalam memutuskan sesuatu keputusan. Inilah sikap orang yang tetap pendirian dengan erti kata jati diri yang berlandaskan iman, ilmu, dan akal yang mantap yang dapat merealisasikan keadaan pergaulan yang sempurna dan tenang. Sebaliknya orang yang mati hati itu tidak mahu mengambil berat soal tuntutan yang disyariatkan oleh Allah dan tidak mahu memahami adab di dalam pergaulan atau hubungan sesama manusia sama ada soal memberi salam atau menerima salam orang lain tidak disampaikan kepada penerima. Begitu juga soal keizinan untuk memasuki ke dalam rumah orang lain, jauh sekali hendak menghormati hak sesama manusia atau berterima kasih kepada orang yang memberi pertolongan kepadanya. Secara tidak langsung balasan buruk baik selepas mati tidak sekali-kali dihiraukan, jauh sekali hendak memikir kebesaran Allah dan keagungan maha pencipta. (Imam Falkhhruddin Al-Razi Al-Shafie 1990, 52-53)
Sebab itu Allah menggambarkan kedudukan mereka dalam al Quran seperti binatang ternakan dalam firman-Nya dalam surah al A'raf, ayat 179:
“Mereka itu seperti binatang ternakan bahkan mereka lebih sesat dari itu.”
Itulah gambaran orang yang mati hati tidak dapat memahami apa maksud segala kejadian Allah, maka ia tidak mampu menghasilkan segala kelebihan yang Allah anugerahkan kepadanya. Akhirnya mereka lengah dan tidak mengambil berat akan segala suruhan Allah. Hidup mereka dalam kejahilan yang mati dari kesedaran akidah yang menjadi asas kepada agama Islam, sedangkan ia mengaku dirinya adalah Islam. Golongan inilah yang digambarkan hidup mereka sebagai kubur kepada nyawa dan roh mereka sendiri seperti mana yang digambarkan oleh penyair di dalam syairnya dibawah ini.
‘Dalam kejahilan sebelum mati ia merupakan mati kepada si jahil dan jasad mereka sebelum berkubur telah terkubur. Roh mereka telah bersangkar dalam kekejian jasad yang jahil maka bagi mereka tiada harapan sebelum jasad mereka hancur mereka telah hancur.’
Maksud jahil di sini ialah mati hati dan rohani, iaitu jahil untuk mengenali Allah dan segala ilmu yang disyariatkan kepada hambanya untuk mendalami dan beramal dengannya semasa roh dikandung jasad. Kerana ilmu itu dari Allah khusus untuk hamba Nya yang beriman dan ilmu Allah itu merupakan cahaya yang dapat menghidupkan hati dari segala kejahilan. Seandainya seseorang hamba itu menjauhkan diri dari ilmu Allah maka hatinya terus mati, ibarat tanah tanpa hujan tiada tumbuh tumbuhan yang menghiasi di permukaannya. (Ibnu Qaim Al-Juziah 691-751H. 273-276 ms.)
Lantaran itulah Lukmanulhakim telah menasihati anaknya dengan katanya:
‘Wahai anakku, dudukiah bersama sama ulama dan berbincanglah bersama mereka dengan penuh dedikasi, maka sesungguhnya Allah akan menghidupkan segala isi hati hambanya dengan cahaya hikmah ilmu-Nya seperti mana menyubur bumi dengan titisan hujan’.
Demikian juga Muaz bin Jabal pernah menegaskan: "Tuntut olehmu akan ilmu sesungguhnya menuntut ilmu kerana Allah akan menjadikan kamu takut kepada-Nya. Menuntut ilmu adalah ibadat, mengingati ilmu merupakan tasbih, membincangnya pula adalah jihad dan sekiranya kamu ajar kepada orang yang tidak mengetahui adalah sedekah. Manakala menghabiskan masa dengan ahli ilmu merupakan pendekatan diri kepada Allah dan ilmulah yang memberi pengetahuan terhadap kamu soal halal haram, makruh atau syubhah yang akan terpelihara diri kamu dari api neraka".
Oleh itu, sentiasalah dekati dengan ilmu kerana ia menyegarkan hati dan rohani yang telah terkulai layu. Sekiranya kita patuhi segala kehendak ilmu pengetahuan yang kita ketahui ia akan menerangi jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, kerana ilmu satu satunya yang dapat menjinakkan jiwa yang liar serta menghidupkan hati yang mati. Dengan demikian hati yang mati ini tiada yang dapat menghidupkannya melainkan ilmu dan iman serta keikhlasan beribadat kepada Allah sahaja. Yang dimaksudkan dengan menghidupkan hati dengan ilmu ialah dengan sentiasa berzikir, istighfar, selawat ke atas Rasulullah, memaafkan kesalahan orang lain, ikhlas, murah hati dan jauh daripada maksiat. Dengan demikian bolehlah dikatakan hati yang hidup.
Kita boleh mengenali hati yang hidup ini kerana ia mempunyai ciri-ciri tertentu, iaitu menunjukkan sikap berhemah tinggi serta sifat-sifat seperti pemaaf, pemurah, tidak meninggi diri atau menunjuk nunjuk, tidak sombong dan tidak mengeluarkan kata-kata yang boleh menyinggung perasaan orang lain. Di samping itu, apabila dilihat kepadanya, maka akan nampaklah ciri-ciri keimanan seperti khusyuk, lemah lembut, sabar mendengar dan menerima pendapat orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri serta bersimpati dengan orang yang kurang bernasib baik dan bersifat tolong menolong, dan bertimbang rasa. Inilah gambaran orang yang hatinya tidak mati.
Manakala hati yang mati amat ditakuti oleh setiap insan yang beriman. Bagi orang yang beriman, mereka tidak takut mati apabila sampai ajalnya kerana bekalan sudah sempurna, tetapi yang amat ditakuti ialah sekiranya mati hati. Ini kerana mati hati menjadikanjasad hidup dalam keadaan hina disebabkan nafsu tidak berpandukan akal. Ketika itu kedudukan jasad tidak berguna lagi sama ada di sisi Allah atau pada pandangan masyarakat. Oleh yang demikian, hati yang mati adalah pembunuh jiwa yang sihat, manakala jiwa yang sihat berpunca dari hati yang hidup bernafaskan iman. Lantaran itu hati memainkan peranan yang sangat penting ke arah jiwa yang baik dan tenang serta sanggup memikul segala cabaran yang mendatang, ibarat bunga yang segar mengeluarkan keharuman yang menyegar setiap individu dan masyarakat yang mendampinginya. Sebaliknya hati yang mati tiada keharuman jiwa, ibarat bunga yang busuk sentiasa mengeluarkan bauan yang tidak menyenangkan orang lain. Dengan kata lain, orang yang mati hati tidak hertimbang rasa terhadap orang yang kurang bernasib baik. (Abi Hamid Muhammad M Gazali, 1989. 149)
Kewajipan Menjaga Hati Dan Cara Mengubatinya
Menurut Imarn Al-Ghazali, kewajipan ke atas manusia yang waras ialah menjaga dan memperbaiki niat hatinya serta menjauhkan segala anggapan dan sangkaan buruk kepada saudaranya ketika bergaul sesama rakan. Kewajipan inilah yang dituntut oleh syariat kepada semua mukalaf supaya menjaga hati mereka untuk menjadi insan yang kamil dan sempurna dunia dan akhirat. Hati merupakan anggota yang paling berbahaya, dan sesiapa yang mempunyai hati yang sakit dan mati, maka ia akan memberi kesan yang sangat buruk terhadap permasalahan yang sukar untuk diperbaiki. Oleh yang demikian Imam Al-Ghazali menggariskan beberapa asas sebagai panduan menjaga dan mengubati hati.
Asas pertama: Firman Allah dalam surah al-Ghafir, ayat 19 berbunyi:
“Allah mengetahui segala pengkhianatan yang bermula dari mata dan apa yang tersembunyi di dada setiap hamba.”
Dalil di atas dapat difahamkan jika seseorang berhasrat atau terlintas di hatinya hendak menghasut, prasangka, atau melakukan niat jahat, maka ingatlah bahawa Allah amat mengetahui setiap rahsia yang terdetik di dada hambanya melalui dalil al-Quran yang terdapat dalam surah al Maidah, ayat 7:
“Sesungguhnya Allah mengetahui akan segala isi hati yang tersemat di dada hambanya.”
Berdasarkan ayat di atas, Allah memperkuatkan lagi keyakinan hamba-Nya dengan firman-Nya dalam surah al-Ahzab, ayat 51:
“Dan Allah amat mengetahui setiap apa yang terkandung di dalam hati kamu.”
Lantaran itu beberapa kali Allah menyebut dalam al Quran dengan kalimah “Amat mengetahui segala isi hati hamba-Nya” dengan tujuan supaya setiap hamba mengetahui segala ilmu Allah dan taat kepadaNya bagi mengingati dan berhati-hati supaya tidak dilakukan perbuatan yang dilarang secara sengaja atausebaliknya.
Allah memberikan peringatan itu kerana manusia sering melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah dengan mengikut hawa nafsu dan kehendak hati yang amat sukar untuk dihindarkan sedangkan Allah amat mengetahui zahir dan batin juga segala niat isi hati yang mengatur segala perilaku hambanya. Berdasarkan demikian Imam Al-Ghazali telah memberi satu pesanan dengan katanya: "Lihat olehmu akan apa yang kamu mengetahui dari segala hatimu". Maksudnya renunglah segala apa yang mendatangkan kebaikan dari segala kerja hati yang terdiri dari keinginan hati, cita cita, hasrat dan tujuan. Sekiranya baik teruskanlah, andai sebaliknya hentikan dengan segera.
Asas kedua: Sabda Rasulullah s.a.w.
‘Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa paras kamu dan tidak kepada tubuh badan kamu, dan sesungguhnya Allah tetap melihat kepada hati kamu dan segala amalan kamu yang berlandaskan keikhlasan hati.’
Di sini menunjukkan ketetapan hati yang ikhlas merupakan tempat utama yang difokuskan olch Allah swt untuk diberi ganjaran. Tetapi alangkah pelik dan hairan sekali manusia melakukan sesuatu sering kali terlupa kepada Allah tetapi yang diingat ialah untuk mendapat pujian dan sanjungan serta penghormatan sesama manusia. Inilah yang menjadi ukuran dalarn pengorbanan seharian tanpa keikhlasan yang sebenar. (Imam Abi Abdul Rahman Al-Sulma. 330 412H, ms 10)
Asas ketiga: Hati merupakan ketua kepada anggota manakala anggota anggota lain adalah ikutan kepada hati, jika elok isi hati maka tetaplah pendiriannya serta eloklah perilaku anggota anggota lain yang sernuanya mengikut kehendak hati. Berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w. di dalam hadis yang berbunyi:
‘Sesungguhnya di dalam jasad manusia didapati segumpal darah, apabila baik maka baiklah keseluruhan badannya, dan apabila buruk maka buruklah segala keperibadiannya, adakah tidak kamu tahu sesungguhnya itulah hati.’
Berdasarkan ayat ayat di atas dan juga hadis menunjukkan hati mcrupakan anggota yang. paling berharga, tempat simpanan segala kemuliaan seorang hamba, asas segala amalan lahir dan batin. Hati adalah ketua segala anggota yang merupakan panduan kepada rohani dan jiwa setiap insan. Demikianlah peranan hati sangat besar tanggunjawabnya ke arah mengendalikan nilaian diri, manakala kejahilan pula mematikan hati dan rohani sekalipun badannya hidup dan bergerak di muka burni. Jasadnya merupakan kubur bagi hati yang telah mati. Perkara sedemikian dapat dielakkan sekiranya kita belajar dan mengetahui akan segala ilmu Allah yang, disyariatkan kepada kita. Ilmu Allah ini dapat menjadi permangkin keimanan dan penawar. Untuk menghidupkan hati yang telah mati, kita hendaklah rnelakukan ibadat dan beralakhlak mulia sesama manusia.
Sekian, wassalam.
Adab pengantin dan pergaulan suami-isteri
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan sifat yang ada padanya; dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan sifat yang ada padanya” (HR. Abu Daud dan dihasankan oleh Al-Albani).
2. Hendaklah kedua mempelai melakukan shalat dua rakaat bersama, ketika awal dipertemukan, kerana kaum salaf melaksanakan demikian.
3. Rayulah isteri dan bercandalah dengannya di saat santai berduaan. Nabi n selalu bercanda, tertawa dan merayu isteri-isterinya.
4. Bacalah basmalah sebelum melakukan jima`. Rasulullah n bersabda, “Kalau sekiranya seorang di antara kamu hendak bersenggama dengan isterinya membaca :
“Dengan menyebut nama Alllah, ya Allah, jauhkanlah setan dari kami dan jauhkan syetan dari apa yang Engkau rezkikan kepada kami”, maka sesungguhnya jika keduanya dikurniai anak dari kamasutranya itu, nescaya ia tidak akan dibahayakan oleh setan selama-lamanya.” (Muttafaq ‘alaih).
Dahuluilah dengan rayuan, rabaan, ciuman, dan cumbuan yang mesra sampai benar-benar kedua anda siap melakukan jima’ (senggama).
5. Jika ingin bersenggama lagi, berwudhulah terlebih dahulu, kerana Rasulullah S.a.w bersabda; “Apabila salah seorang kamu telah bersetubuh dengan isterinya, lalu ingin mengulanginya maka hendaklah berwudhu.” (HR. Muslim; 308, Ahmad; 10777, Tirmidzi; 191)
6. Berwudhulah sebelum tidur sesudah melakukan jima’ bila sempat.
Bonda Aisyah r.a menuturkan, “Rasulullah S.a.w bila hendak makan atau tidur saat beliau junub, maka beliau mencuci kemaluan dan berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat.” (Muttafaq ’alaih)
7. Haram hukumnya menyetubuhi isteri di saat haid atau menyetubuhi duburnya. Rasulullah n bersabda, Barangsiapa yang melakukan persetubuhan terhadap wanita haid atau pada duburnya, atau datang kepada dukun (tukang sihir) lalu membenarkan apa yang dia katakannya, maka sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.” (HR. Al-Arba`ah dan dishahihkan oleh Al-Albani).
8. Jangan menyebarkan rahsia tentang hubungan suami isteri. Rasulullah n bersabda, “Sesungguhnya manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah seorang lelaki yang berhubungan dengan isterinya (jima`), kemudian ia menyebarkan rahsianya.” (HR. Muslim no. 1437, Ahmad; 11258, Abu Daud; 4870)
9. Saling bergaullah dengan baik, dan laksanakan kewajiban anda masing-masing terhadap yang lain. Allah S.w.t berfirman, “Dan para isteri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut yang ma`ruf.” (Al-Baqarah: 228).
10. Berlaku lembut dan bersikap baiklah terhadap isteri, dan ajarkan masalah agama, serta tekankan pada perintah Allah terhadapnya. Rasulullah n bersabda, “Ingatlah, berpesan baiklah selalu kepada isteri, kerana sesungguhnya mereka adalah tawanan di sisi kalian....” (HR. At-Turmudzi)
11. Hendaknya isteri selalu ta`at kepada suaminya sesuai kemampuannya asal bukan dalam hal kemaksiatan, jangan dia mematuhi siapapun bila tidak disukai atau bertentangan dengan kehendak suami, janganlah isteri menolak ajakan suami. Rasulullah n bersabda, “Bila suami mengajak isteri ke tempat tidur lalu ia tidak memenuhi ajakannya, kemudian sang suami tidur dalam keadaan marah padanya, maka malaikat melaknat wanita tersebut sampai hari pagi.” (Muttafaq ‘alaih).
12. Berlaku adillah terhadap isteri-isteri. Rasulullah n bersabda, “Barangsiapa mempunyai dua isteri, lalu ia lebih cenderung kepada salah satunya, nescaya ia datang di hari Kiamat dalam keadaan sebelah badannya miring.” (HR. Abu Daud no; 2133, Ahmad; 8363, At-Tirmidzi; 1141, an-Nasai; 3942 Ibn Majah; 1969, ad Darimi; 2206 dan dishahihkan oleh Al-Albani)
13. Bersabarlah atas watak isteri yang pada umumnya cemburu berlebihan, sehingga bersikap kurang sopan (lihat al-Bukhari; 5225, Ahmad; 11616, At Tirmidzi; 1359, An Nasai; 3955, Abu Daud; 3557, Ibnu Majah; 2384, Ad Darimi; 2598), atau yang kurang pandai berterima kasih.
Sumber :
- Al-Qur’anul Karim
- Hisnul Muslim, Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthani.
- Kaifa Nurobby Auladana?
- 130 Masail fitarbiyatil aulad.
- Tarbiyatul Athfal ala Manhajin Nabawi.
20/03/2011
Demo
Yaa Allaah..
Kalau Engkau sudah tulis aku dalam ketetepanMu (lauhil Mahfuzh)
“Aku ini harus jadi orang celaka”
silahkan Yaa Allaah.. karena Engkau maha Kuasa.
dan Kalau Engkau menulis
“aku ini di sana adalah orang yang terusir”
usirlah yaa Robb karena Engkau maha kuasa.
kalau Engkau menulis
“aku ini harus terhalang”
layaklah orang seperti aku di usir dihalangi.. memang aku tidak layak untuk kesana…
Yaa Allaah..
Engkaupun berfirman..
يَمْحُو اللّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِندَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).
19/03/2011
Qolbu
Qalbu adalah Singgasana Allah
Pusat kendali diri setiap manusia
Landasan penampakkan Al Haq
Ranah hamparan kasih rahmatNya
Ia adalah cerminan hakikatNya
Mikroskop nilai keluhuranNya
Wadah penampung kalamNya
Jaring penangkap isyarat-isyaratNya
Ia dianalogikan dengan cahaya
Diurai dengan huruf-huruf Qur’ani
Ia laksana, minyak dan lampu
Dalam Misykat serta kaca menyala
Ia mudah terbalik dan pongah,
Qalbu yang ingat mulia, yang lalai nista,
Ia kadang bersinar, kadang gelap,
Ia menyinari jagad diri dan kehidupan,
Qalbu didatangi DutaNya untuk
Dipersiapkan menerima tugas ketuhanan
Qalb suci bermoral malaikatNya
Qalbu kotor berkarakteri setan terlaknat
Qalbu adalah penanda setiap insan
Adakah ia manusia baik atau buruk
Ia merupakan pundit rahasia batin
Samudera pengetahuan setiap manusia
Ia kunci pembuka keagunganNya
Pintu pembentang rahasia-rahasiaNya
Itulah wajah hakiki qalbumu yang sesungguhnya
Simpanlah rahasia batinmu, kau akan melihat rahasiaNya
Kebahagiaan dunia bisa diraih dengan jejak kaki
Kebahagiaan hakiki akhirat hanya bisa ditempuh dengan qalbu
Penyingkapan Agung dan tirai Makrifat terbuka oleh “laku“ qalbu
Rapor kebaikan dan keburukan setiap insani berdasar “laku“ qalbu
Manusia yang membiarkan kalbunya penuh noda hati
Selamanya tidak akan merasakan penyingkapan rahasia AgungNya
Qalbu adalah perbendaharaan agung
Modal utama setiap manusia menujuNya
Insan yang tidak memuliakan kalbunya
Akan menuai keburukan abadi di sisiNya
Qalbu adalah landasan pacu hakikat
Nilai hakiki tidak akan landing di qalbu yang kotor
Qalbu yang tidak suci berlumur hijab
Qalbu yang terhijab tidak akan Makrifatullah
Qalbu adalah media Wushul da Qurb
Keintiman denganNya juga dengan “laku“ qalbu
Hakikat kebaikan bersendikan qalbu
Kebaikan yang tidak bernurani, adalah busuk
Ilham suciNya turun di qalbu suci
Qalbu buruk adalah landasan bisikan jahat setan
Muara “laku“ qalbu adalah ridhaNya
KerelaanNya hanya berdasarkan “laku“ qalbu jernih
KemurkaanNya akibat “ulah“ qalbu
Siksa pedih akhirat juga akibat “ulah“ busuk qalbu
Qalbu adalah sentra penentu nasib
Kebahagiaan dan kesengsaraan hakiki akibat qalbu
Qalbu yang taat beroleh ridhaNya
Qalbu yang kufur, akan menuai kemurkaanNya
Qalbu yang pongah dan tersesat
Adalah qalbu yang lupa mendzikir padaNya
Wajah kebaikan qalbu adalah lurus
Wajah kesesatan qalbu, tindak kemaksiatannya
Tajamkan mata Qalbu dan pikir
Akan tersingkap keagungan rahasia ayat-ayatNya
Qalbu adalah pengantin jasad dan ruh
Hanya Qalbu Sakinah yang sambung dengan DiriNya
Lihatlah kepada “laku“ baik qalbumu
Itulah rahasia batinmu, dan modal utamamu menujuNya
Pandanglah kebaikan-kebaikanNya
Akan ditampakkan untukmu segala makna hakiki
HAKIKAT QOLBU DAN RUH
Semoga Allah SWT senantiasa membimbing & menolong kita agar dapat senantiasa
menjadi insan yang berakal. Yang mampu mengendalikan dan mengarahkan dorongan hawa
nafsu serta gejolak syahwat yang ada pada diri kita sesuai dengan hukum-hukum syara’ yang
ditetapkan oleh Allah SWT, sehingga dengan izin & pertolongan-Nya kita dapat meningkatkan
lagi derajat ruh kita menjadi “Qolbu” dan “Ruh”.
Qolbu
Ketika nafsu sudah reda dari perbuatan-perbuatan maksiat-maksiatnya & mulai tenang
karenanya, namun terkadang masih berubah-ubah diantara sadar & lalai, atau antara ingat &
lupa antara dorongan taat & maksiat, maka ia dinamakan “Qolbu”.
Orang yang ruhnya sudah sampai derajat qolbu maka ia sudah dapat meninggalkan
perbuatan-perbuatan maksiat & dosa dengan ringan & tenang, karena dorongan-dorongan hawa
nafsu untuk berbuat maksiat & dosa sudah mulai reda dari dirinya. Bahkan ia merasa malu
kepada Allah jika muncul keinginan berbuat maksiat, serta gelisah hatinya jika berbuat khilaf.
Rosulullah SAW bersabda : “Ketika kamu tidak merasa malu, maka berbuatlah apa saja yang
kamu kehendaki” (HR. Bukhari & Muslim). Ini menunjukkan bahwa jika ruh sudah sampai derajat
qolbu, maka akan tumbuhlah rasa malu kepada Allah yang akan menjadi benteng yang sangat
kokoh dari keterjerumusan kepada perbuatan nista & dosa.
Ibadah bagi orang yang berderajat qolbu sudah terasa indah & nikmat. Sholat & dzikirnya
khusyu’, do’a & munajatnya sungguh-sungguh, amalnya ikhlas, pembicaraanya bermakna &
akhlaknya mulia.
Seorang mukmin yang derajat ruhnya sudah naik ke derajat qolbu maka hatinya sudah
mulai dimasuki “Nurullah” atau “Cahaya-cahaya Allah”, hidayah & ilmu karunia-Nya meresap &
bercahaya di dalam qolbunya, sehingga ia dapat dijadikan tempat bertanya & meminta fatwa.
Rasulullah SAW bersabda :”Mintalah fatwa kepada qolbumu. Kebaikan itu adalah yang
menentramkan nafsu & qobu, sedangkan dosa adalah yang menggelisahkan nafsu &
meresahkan qolbu” (HR. Ahmad).
Mukmin yang ruhnya sudah sampai derajat qolbu, maka keimanannya kepada Allah &
Rosul-Nya begitu suci, kokoh & mendalam, mendahului akal & pikirannya. Satu ayat Allah yang
ia dengar atau baca akan langsung bersinar & mencahayai dirinya, mencahayai orang yang di
sisinya, mendorong amal & membangkitkan semangat berjuang di jalan-Nya. Bahkan ayat-ayat
Al-Qur’an yang telah ia baca walaupun akalnya belum sampai pemahamannya atau bukti belum
ditemukannya, jika itu adalah berita atau janji dari Allah, ia akan mengimani & meyakininya.
Para sahabat Rasulullah SAW adalah gambaran pribadi-pribadi berderajat qolbu ini.
Sesaat setelah masuk Islam, satu ayat Al-Qur’an yang ia dengar atau baca, kemudian satu
taushiah Rasulullah yang ia terima akan merubah kepribadiannya, membangkitkan amalnya &
mengobarkan semangat jihadnya.
Tidak sedikit sahabat Rasulullah SAW yang telah menjadi “Pahalawan Islam” yang luar
biasa jasanya dalam dakwah Islam walaupun belum sempat khatam Al-Qur’an, karena beliau
syahid di medan jihad sebelum Al-Qur’ an selesai diturunkan. Diantara sahabat tersebut adalah
Mush’ab Bin Umair, Hamzah Bin Abdul Muthalib, Zaid Bin Haritsah, Abdullah Bin Rawahah &
Ja’far Bin Abi Thalib. Allah SWT berfirman :“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah
mereka yang apabila disebut asma Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayatayat-
Nya, maka bertambahlah iman mereka (karenanya)” (QS.8. Al-Anfaal : 2).
“Ruh” yang sudah sampai derajat “Qolbu” senantiasa “Tawajjuh”, menghadap Allah SWT
baik dalam keadaan berdiri, duduk maupun berbaring. Hamba-hamba Allah yang berqolbu bersih
atau selamatlah yang akan beruntung & mulia di saat menghadap Allah di akhirat kelak. Allah
SWT berfirman :”Pada hari yang tiada gunanya harta benda & anak-anak, kecuali orang-orang
yang menghadap Allah dengan qolbu yang selamat” (QS.26. As-Syu’araa’ : 88-89).
Ruh
Ketika qolbu sudah disinari cahaya-cahaya “Tawajjuh”, terus-menerus cahaya tawajjuh
itu datang ke dalamnya, kemudian ia merasa tenang menghadap Allah & tuma’ninah di dalam
dzikir kepada-Nya, maka ia dinamakan “Ruh”. Ruh yang telah sempurna sebagai ruh.
Ruh akan senantiasa merindukan saat-saat “Tawajjuh”, yaitu saat-saat menghadap &
mendekat kepada Allah. Ia akan merasakan ketenangan yang tidak terkira di saat dzikir, ibadah
& aktifitas amal-amal sholih lainnya. Di dalam sholat ia sangat menikmati & hanyut dalam khusyu’
saat menggetarkan kalimat “Inni Wajjahtu Wajhiya Lilladzi Fathorossamaawaati wal ardho …”
yang artinya “Sesungguhny aku menghadapkan wajahku (beserta seluruh jiwa ragaku) ke Hadirat
Dzat Yang Menciptakan langit dan bumi …..”. Tawajjuh yang sungguh-sungguh ini disambut oleh
Allah yang kemudian memancarkan ke dalam dirinya cahaya-cahaya “Muwajahah”, yaitu cahaya
menghadap-Nya Allah untuk menerima tawajjuh-nya ruh seorang hamba. Jadi “Ruh” adalah
permulaan tempat bersinarnya cahaya-cahaya “Muwajahah”.
Jika Allah sudah memancarkan cahaya “Muwajahah” ke dalam ruh seorang hamba-Nya,
maka mulailah tersingkap hijab dari dirinya & terbukalah pintu untuk masuk ke Hadirat Allah, Dzat
Yang Paling Dicintai oleh seorang hamba.
Orang yang sudah sampai derajat “Ruh” ini, terkadang mulai muncul dalam
kehidupannya “Khoriqul ‘Adat”, yaitu hal-hal yang diluar kebiasaan kebanyakan orang, baik
yang berupa “Ma’unah” atau “Karomah”. Ma’unah adalah pertolongan Allah yang diberikan
kepada orang-orang mu’min yang taat & istiqomah, sedangkan “Karomah” adalah pertolongan &
penghormatan dari Allah kepada para “Waliyullah”. Waliyullah ialah orang-orang yang sangat
dicintai dan disayangi oleh Allah SWT. Ia dikaruniai oleh Allah kesanggupan sholat, dzikir, baca
Al-Qur,an, puasa & ibadah-ibadah lain lainnya yang luar biasa. Do’anya mustajab sehingga dapat
menjadi jalan pertolongan Allah bagi sesamanya. Kekuatan pendengaran, pandangan & tenaga
jasadnya dapat menjadi luar biasa. Bahkan, ia terkadang diberi karunia oleh Allah SWT dapat
mengetahui sesuatu yang tersembunyi atau belum terjadi.
Rosulullah SAW bersabda, bahwa Allah SWT berfirman (dalam Hadits Qudsy):”Tidaklah
seorang hamba taqurrub (mendekat) kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari pada
dengan segala sesuatu yang Aku wajibkan atasnya. Dan terus-menerus hamba-Ku taqorrub
kepadap-Ku dengan amal-amal sunnah sehingga Aku mencintainya. Ketika Aku telah mencintai-
Nya, maka Aku menjadi pendengaran-Nya yang dengannya ia mendengar, menjadi matanya
yang dengannya ia melihat, menjadi tangannya yang dengannya ia memukul & menjadi kakinya
yang dengannya ia berjalan. Dan sungguh, jika ia memohon kepada-Ku, niscaya akan Aku akan
memberikannya, dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, niscaya Aku akan
melindunginya” (HR. Buhkhari).
Semoga Allah SWT membersihkan ruh kita dan memberikannya derajat yang tinggi di
sisi-Nya. Wallaahu A’lam Bisshowaab.
menjadi insan yang berakal. Yang mampu mengendalikan dan mengarahkan dorongan hawa
nafsu serta gejolak syahwat yang ada pada diri kita sesuai dengan hukum-hukum syara’ yang
ditetapkan oleh Allah SWT, sehingga dengan izin & pertolongan-Nya kita dapat meningkatkan
lagi derajat ruh kita menjadi “Qolbu” dan “Ruh”.
Qolbu
Ketika nafsu sudah reda dari perbuatan-perbuatan maksiat-maksiatnya & mulai tenang
karenanya, namun terkadang masih berubah-ubah diantara sadar & lalai, atau antara ingat &
lupa antara dorongan taat & maksiat, maka ia dinamakan “Qolbu”.
Orang yang ruhnya sudah sampai derajat qolbu maka ia sudah dapat meninggalkan
perbuatan-perbuatan maksiat & dosa dengan ringan & tenang, karena dorongan-dorongan hawa
nafsu untuk berbuat maksiat & dosa sudah mulai reda dari dirinya. Bahkan ia merasa malu
kepada Allah jika muncul keinginan berbuat maksiat, serta gelisah hatinya jika berbuat khilaf.
Rosulullah SAW bersabda : “Ketika kamu tidak merasa malu, maka berbuatlah apa saja yang
kamu kehendaki” (HR. Bukhari & Muslim). Ini menunjukkan bahwa jika ruh sudah sampai derajat
qolbu, maka akan tumbuhlah rasa malu kepada Allah yang akan menjadi benteng yang sangat
kokoh dari keterjerumusan kepada perbuatan nista & dosa.
Ibadah bagi orang yang berderajat qolbu sudah terasa indah & nikmat. Sholat & dzikirnya
khusyu’, do’a & munajatnya sungguh-sungguh, amalnya ikhlas, pembicaraanya bermakna &
akhlaknya mulia.
Seorang mukmin yang derajat ruhnya sudah naik ke derajat qolbu maka hatinya sudah
mulai dimasuki “Nurullah” atau “Cahaya-cahaya Allah”, hidayah & ilmu karunia-Nya meresap &
bercahaya di dalam qolbunya, sehingga ia dapat dijadikan tempat bertanya & meminta fatwa.
Rasulullah SAW bersabda :”Mintalah fatwa kepada qolbumu. Kebaikan itu adalah yang
menentramkan nafsu & qobu, sedangkan dosa adalah yang menggelisahkan nafsu &
meresahkan qolbu” (HR. Ahmad).
Mukmin yang ruhnya sudah sampai derajat qolbu, maka keimanannya kepada Allah &
Rosul-Nya begitu suci, kokoh & mendalam, mendahului akal & pikirannya. Satu ayat Allah yang
ia dengar atau baca akan langsung bersinar & mencahayai dirinya, mencahayai orang yang di
sisinya, mendorong amal & membangkitkan semangat berjuang di jalan-Nya. Bahkan ayat-ayat
Al-Qur’an yang telah ia baca walaupun akalnya belum sampai pemahamannya atau bukti belum
ditemukannya, jika itu adalah berita atau janji dari Allah, ia akan mengimani & meyakininya.
Para sahabat Rasulullah SAW adalah gambaran pribadi-pribadi berderajat qolbu ini.
Sesaat setelah masuk Islam, satu ayat Al-Qur’an yang ia dengar atau baca, kemudian satu
taushiah Rasulullah yang ia terima akan merubah kepribadiannya, membangkitkan amalnya &
mengobarkan semangat jihadnya.
Tidak sedikit sahabat Rasulullah SAW yang telah menjadi “Pahalawan Islam” yang luar
biasa jasanya dalam dakwah Islam walaupun belum sempat khatam Al-Qur’an, karena beliau
syahid di medan jihad sebelum Al-Qur’ an selesai diturunkan. Diantara sahabat tersebut adalah
Mush’ab Bin Umair, Hamzah Bin Abdul Muthalib, Zaid Bin Haritsah, Abdullah Bin Rawahah &
Ja’far Bin Abi Thalib. Allah SWT berfirman :“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah
mereka yang apabila disebut asma Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayatayat-
Nya, maka bertambahlah iman mereka (karenanya)” (QS.8. Al-Anfaal : 2).
“Ruh” yang sudah sampai derajat “Qolbu” senantiasa “Tawajjuh”, menghadap Allah SWT
baik dalam keadaan berdiri, duduk maupun berbaring. Hamba-hamba Allah yang berqolbu bersih
atau selamatlah yang akan beruntung & mulia di saat menghadap Allah di akhirat kelak. Allah
SWT berfirman :”Pada hari yang tiada gunanya harta benda & anak-anak, kecuali orang-orang
yang menghadap Allah dengan qolbu yang selamat” (QS.26. As-Syu’araa’ : 88-89).
Ruh
Ketika qolbu sudah disinari cahaya-cahaya “Tawajjuh”, terus-menerus cahaya tawajjuh
itu datang ke dalamnya, kemudian ia merasa tenang menghadap Allah & tuma’ninah di dalam
dzikir kepada-Nya, maka ia dinamakan “Ruh”. Ruh yang telah sempurna sebagai ruh.
Ruh akan senantiasa merindukan saat-saat “Tawajjuh”, yaitu saat-saat menghadap &
mendekat kepada Allah. Ia akan merasakan ketenangan yang tidak terkira di saat dzikir, ibadah
& aktifitas amal-amal sholih lainnya. Di dalam sholat ia sangat menikmati & hanyut dalam khusyu’
saat menggetarkan kalimat “Inni Wajjahtu Wajhiya Lilladzi Fathorossamaawaati wal ardho …”
yang artinya “Sesungguhny aku menghadapkan wajahku (beserta seluruh jiwa ragaku) ke Hadirat
Dzat Yang Menciptakan langit dan bumi …..”. Tawajjuh yang sungguh-sungguh ini disambut oleh
Allah yang kemudian memancarkan ke dalam dirinya cahaya-cahaya “Muwajahah”, yaitu cahaya
menghadap-Nya Allah untuk menerima tawajjuh-nya ruh seorang hamba. Jadi “Ruh” adalah
permulaan tempat bersinarnya cahaya-cahaya “Muwajahah”.
Jika Allah sudah memancarkan cahaya “Muwajahah” ke dalam ruh seorang hamba-Nya,
maka mulailah tersingkap hijab dari dirinya & terbukalah pintu untuk masuk ke Hadirat Allah, Dzat
Yang Paling Dicintai oleh seorang hamba.
Orang yang sudah sampai derajat “Ruh” ini, terkadang mulai muncul dalam
kehidupannya “Khoriqul ‘Adat”, yaitu hal-hal yang diluar kebiasaan kebanyakan orang, baik
yang berupa “Ma’unah” atau “Karomah”. Ma’unah adalah pertolongan Allah yang diberikan
kepada orang-orang mu’min yang taat & istiqomah, sedangkan “Karomah” adalah pertolongan &
penghormatan dari Allah kepada para “Waliyullah”. Waliyullah ialah orang-orang yang sangat
dicintai dan disayangi oleh Allah SWT. Ia dikaruniai oleh Allah kesanggupan sholat, dzikir, baca
Al-Qur,an, puasa & ibadah-ibadah lain lainnya yang luar biasa. Do’anya mustajab sehingga dapat
menjadi jalan pertolongan Allah bagi sesamanya. Kekuatan pendengaran, pandangan & tenaga
jasadnya dapat menjadi luar biasa. Bahkan, ia terkadang diberi karunia oleh Allah SWT dapat
mengetahui sesuatu yang tersembunyi atau belum terjadi.
Rosulullah SAW bersabda, bahwa Allah SWT berfirman (dalam Hadits Qudsy):”Tidaklah
seorang hamba taqurrub (mendekat) kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari pada
dengan segala sesuatu yang Aku wajibkan atasnya. Dan terus-menerus hamba-Ku taqorrub
kepadap-Ku dengan amal-amal sunnah sehingga Aku mencintainya. Ketika Aku telah mencintai-
Nya, maka Aku menjadi pendengaran-Nya yang dengannya ia mendengar, menjadi matanya
yang dengannya ia melihat, menjadi tangannya yang dengannya ia memukul & menjadi kakinya
yang dengannya ia berjalan. Dan sungguh, jika ia memohon kepada-Ku, niscaya akan Aku akan
memberikannya, dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, niscaya Aku akan
melindunginya” (HR. Buhkhari).
Semoga Allah SWT membersihkan ruh kita dan memberikannya derajat yang tinggi di
sisi-Nya. Wallaahu A’lam Bisshowaab.
15/03/2011
Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali.
Kadang-kadang di ucapkan Al-Ghozzali (dua) kata ini yang berasal dari kata Ghazzal,
yang artinya tukang pintal benang karena pekerjaan ayahnya memintal benang wol
sedangkan al ghazali yang kedua, diambil dari ghazalah, nama Kampung kelahiran al-
Ghazali. Yang terakhir ini inlah yang banyak dipakai.1. Sedangkan Al-Ghazali lahir
di Thus bagian dari kota Kurasan, Irak pada 450 H (1056 M). Ayahnya tergolong
orang yang hidup sangat sederhana sebagai pemintal benang, tetapi mempunyai
semangat keagamaan yang tinggi seperti terlihat pada simpatiknya kepada ulama’ dan
mengharapkan anaknya menjadi ulama’ yang selalu memberi nasehat kepada umat.
Itulah sebabnya, ayahnya sebelum wafat menitipkan anaknya, Al-Ghozali dan
saudaranya, Ahmad yang ketika itu masih kecil, kepada seorang ahli tasawuf untuk
mendapatkan didikan dan bimbingan.2 Diperkirakan Al-Ghozali, hidup dalam suasana
kesederhanaan sufi tersebut sampai usia 15 tahun (450-465 H).
Imam Al-Ghazali lebih dikenal sebagai ulama thasawuf dan akidah. Oleh
sebab itu sumbangannya terhadap bidang falsafah dan ilmu pengetahuan lain tidak
boleh dinafikan. Al-Ghazali merupakan seorang ahli Sufi yang bergelar "Hujjatul
Islam". Abu Hamid Ibnu Muhammad Al-Tusi Al-Ghazali adalah tokoh yang
dilahirkan di Thus, Parsi pada tahun 450 Hijrah. Sejak kecil lagi, beliau telah
menunjukkan keupayaan yang luar biasa menguasai berbagai cabang ilmu
pengetahuan. Beliau bukan saja produktif dari segi menghasilkan buku dan karya
tetapi merupakan seorang ahli fikir Islam yang terulung.
Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan begitu mendalam sehingga
mendorongnya menggembara dan merantau dari satu tempat ke tempat yang lain
untuk berguru dengan ulama-ulama yang hidup pada zamannya. Sewaktu berada di
Baghdad, Al-Ghazali telah dilantik sebagai Mahaguru Universitas Baghdad.
Pada tahun 488 H (1095 M) Al-Ghozali dilanda keragu-raguan, skeptis,
terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (hukum, teologi dan filsafat), kegunaan
pekerjaanya, dan karya-karya yang dihasilkannya, sehingga ia menderita penyakit
selama 2 bulan, dan sulit diobati. Karena itu, Al-Ghozali tidak dapat menjalankan
tugasnya sebagai guru besar di madrasah Nizhamiyah. Akhirnya ia menimggalkan
Baghdad menuju kota Damaskus.
Selama kira-kira dua tahun Al-Ghozali di kota ini, ia melakukan uzlah,
riyadhah, dan mujahadah. Kemudian ia pindah ke bait al-Maqdis, Palestina untuk
melaksanakan ibadah serupa, setelah itu tergerak hatinya untuk menunaikan ibadah
haji dan menziarahi maqam Rasulullah.3
Sepulang dari tanah suci, Al-Ghozali mengunjungi kota kelahirannya, Thus
disini pun ia tetap berkhalwat. Keadaan skeptis Al-Ghozali berlangsung selama 10
tahun4. Pada periode itulah ia menulis karyanya yang terbesar ihya Ulumudin
Karena desakan penguasa saljuk. Al-Ghozali mengajar kembali pada madrasah
Nizhamiyah di Naisabur, tetapi hanya berlangsung selama 2 tahun, kemudian ia
kembali ke Thus untuk mendirikan madrasah bagi para fuqaha’, dan sebuah Zawiyah
atau khanaqah untuk para mutasawwifin. Imam Al -Ghazali yang bergelar Hujjatul
Islam meninggal dikota kelahirannya Thus pada hari Senin 14 Jumadil Akhir 505 H.
(111 M).
PEMIKIRAN TASAWUF BELIAU
Al-Ghazali di kenal sebagai orang yang haus akan segala ilmu pengetahuan. Ia
berusaha sekeras mungkin agar dapat mencapai suatu keyakinan dan mengetahui
hakikat segala sesuatu. Sehingga senantiasa ia bersikap kritis dan kadang ia tidak
percaya terhadap adanya kebenaran semua macam pengetahuan, kecuali yang bersifat
inderawi dan pengetahuan hakikat (oxioma atau sangat mendasar). Namun pada
kedua pengetahuan inipun ia akhirnya tidak percaya (skeptis). Hal ini ia ungkapan
pada kitab Al Mungidz yaitu: Sikap skeptis yang menimpa diriku dan yang
berlangsung lama telah berakhir dengan suatu keadaan, dimana diriku tidak
mempercayai kepada pengetahuan inderawi, bahkan keraguan-keraguan ini semakin
mendalam dengan perkataanya: “Bagaimana pengetahuan inderawi itu bisa diterima.
Seperti misalnya penglihatan sebagai inderawi.
Corak Pemikiran Tasawuf Imam al-Ghozali
Di dalam tasawufnya, Imam al-Ghozali memilih tasawuf sunni yang
berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi, ditambah dengan doktrin Ahlussunnah Wal
Jamaah yang kebangkitannya kembali dipelopori oleh al-Imam Abu al-Hasan Ali bin
Ismail al-Asy’ari. Dari paham tasawufnya itu, beliau menjauhkan semua
kecenderungan genotis yang mempengaruhi para filosuf Islam, sekte Isma'iliyah,
aliran Syi’ah, Ikhwan al-Shofa, dan lain-lain. Beliau menjauhkan tasawufnya dari
paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan. Itulah sebabnya dapat
dikatakan bahwa tasawuf al-Ghozali benar-benar bercorak Islam.
Corak tasawufnya lebih ditekankan pada adab dan tatakrama. Beliau berkata:
Adab adalah pendidikan dhohir dan bathin, oleh karenanya apabila seorang hamba
telah berbuat baik secara dhohir dan bathin maka ia telah menjadi sufi yang beradab.
Barang siapa selalu berperilaku sesuai dengan Sunah maka Allah SWT akan
menerangi hatinya dengan cahaya kemarifatan karena tidak ada kedudukan yang
lebih mulia dari mengikuti Nabi Muhammad yang dicintai Allah dalam perintah,
perbuatan, dan ahlaknya, baik dalam niat, ucapan maupun perbuatan.
Tasawuf Al - Ghazali menghimpun akidah, syariat dan akhlak dalam suatu
sistematika yang kuat dan amat berbobot, karena teori - teori tasawufnya lahir dari
kajian dan pengalaman pribadi setelah melaksanakan suluk dalam riyadhah dan
mujahadah yang intensif dan berkesinambungan, sehingga dapat dikatakan bahwa
seumur hidupnya ia bertasawuf.
Dalam pandangannya, Ilmu Tasawuf mengandung 2 bagian penting, pertama
menyangkut ilmu mu'amalah dan bagian kedua menyangkut ilmu mukasyafah, hal ini
diuraikan dalam karyanya Ihya 'Ulumiddin, Al -Ghazali menyusun menjadi 4 bab
utama dan masing-masing dibagi lagi kedalam 10 pasal yaitu :
· Bab pertama : tentang ibadah (rubu' al - ibadah)
· Bab kedua : tentang adat istiadat (rubu' al - adat)
· Bab ketiga : tentang hal -hal yang mencelakakan (rubu' al - muhlikat)
· Bab keempat : tentang maqamat dan ahwal (rubu' al - munjiyat)
Menurutnya, perjalanan tasawuf itu pada hakekatnya adalah pembersihan diri
dan pembeningan hati terus menerus sehingga mampu mencapai musyahadah. Oleh
karena itu ia menekankan pentingnya pelatihan jiwa, penempatan moral atau akhlak
yang terpuji baik disisi manusia maupun Tuhan.
KARYA-KARYA BELIAU
Karya al-ghaazali telah menghhasilkan karya-karya cemerlang, dan tidak
heran Karya Al-Ghozali diperkirakan mencapai 300 karangan, diantaranya adalah:
1. Maqashid al-Falasifah (tujuan-tujuan para filusuf
2. Tahafut al-Falasifah ( kekacauan pikiran para filusuf )
3. Mi’yar al-‘ilm (kriteria ilmu-ilmu)
4. Ihya’ ‘ulumudin (menghidupkan kembali ilmu–ilmu agama) yang merupakan
karyanya terbesar yang dikarangnya selama beberapa tahun di damaskus,
yerussalem, hijaz, dan thus yang berisi antara fikih, tasawuf, dan filsafat.
5. Al-Munaqidz min al – Dhalal ( Penyelamat dari kesesatan)
6. Al-Ma’rifat al-Aqliyah (pengetehuan yang rasional)
7. Misykat al-Anwar (lampu yang bersinar banyak)
8. Minhaj al-‘Abidin (jalan mengabdikan diri kepada Tuhan)
9. Al-Iqtishad fi al- ‘itiqad (moderasi dalam aqidah)
10. Ayyuha al-Walad
11. Al-Mustahfa
12. Iljam al-‘awwam ‘an ‘ilm-al-Kalam
13. Mizan al-‘Amal
Kadang-kadang di ucapkan Al-Ghozzali (dua) kata ini yang berasal dari kata Ghazzal,
yang artinya tukang pintal benang karena pekerjaan ayahnya memintal benang wol
sedangkan al ghazali yang kedua, diambil dari ghazalah, nama Kampung kelahiran al-
Ghazali. Yang terakhir ini inlah yang banyak dipakai.1. Sedangkan Al-Ghazali lahir
di Thus bagian dari kota Kurasan, Irak pada 450 H (1056 M). Ayahnya tergolong
orang yang hidup sangat sederhana sebagai pemintal benang, tetapi mempunyai
semangat keagamaan yang tinggi seperti terlihat pada simpatiknya kepada ulama’ dan
mengharapkan anaknya menjadi ulama’ yang selalu memberi nasehat kepada umat.
Itulah sebabnya, ayahnya sebelum wafat menitipkan anaknya, Al-Ghozali dan
saudaranya, Ahmad yang ketika itu masih kecil, kepada seorang ahli tasawuf untuk
mendapatkan didikan dan bimbingan.2 Diperkirakan Al-Ghozali, hidup dalam suasana
kesederhanaan sufi tersebut sampai usia 15 tahun (450-465 H).
Imam Al-Ghazali lebih dikenal sebagai ulama thasawuf dan akidah. Oleh
sebab itu sumbangannya terhadap bidang falsafah dan ilmu pengetahuan lain tidak
boleh dinafikan. Al-Ghazali merupakan seorang ahli Sufi yang bergelar "Hujjatul
Islam". Abu Hamid Ibnu Muhammad Al-Tusi Al-Ghazali adalah tokoh yang
dilahirkan di Thus, Parsi pada tahun 450 Hijrah. Sejak kecil lagi, beliau telah
menunjukkan keupayaan yang luar biasa menguasai berbagai cabang ilmu
pengetahuan. Beliau bukan saja produktif dari segi menghasilkan buku dan karya
tetapi merupakan seorang ahli fikir Islam yang terulung.
Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan begitu mendalam sehingga
mendorongnya menggembara dan merantau dari satu tempat ke tempat yang lain
untuk berguru dengan ulama-ulama yang hidup pada zamannya. Sewaktu berada di
Baghdad, Al-Ghazali telah dilantik sebagai Mahaguru Universitas Baghdad.
Pada tahun 488 H (1095 M) Al-Ghozali dilanda keragu-raguan, skeptis,
terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (hukum, teologi dan filsafat), kegunaan
pekerjaanya, dan karya-karya yang dihasilkannya, sehingga ia menderita penyakit
selama 2 bulan, dan sulit diobati. Karena itu, Al-Ghozali tidak dapat menjalankan
tugasnya sebagai guru besar di madrasah Nizhamiyah. Akhirnya ia menimggalkan
Baghdad menuju kota Damaskus.
Selama kira-kira dua tahun Al-Ghozali di kota ini, ia melakukan uzlah,
riyadhah, dan mujahadah. Kemudian ia pindah ke bait al-Maqdis, Palestina untuk
melaksanakan ibadah serupa, setelah itu tergerak hatinya untuk menunaikan ibadah
haji dan menziarahi maqam Rasulullah.3
Sepulang dari tanah suci, Al-Ghozali mengunjungi kota kelahirannya, Thus
disini pun ia tetap berkhalwat. Keadaan skeptis Al-Ghozali berlangsung selama 10
tahun4. Pada periode itulah ia menulis karyanya yang terbesar ihya Ulumudin
Karena desakan penguasa saljuk. Al-Ghozali mengajar kembali pada madrasah
Nizhamiyah di Naisabur, tetapi hanya berlangsung selama 2 tahun, kemudian ia
kembali ke Thus untuk mendirikan madrasah bagi para fuqaha’, dan sebuah Zawiyah
atau khanaqah untuk para mutasawwifin. Imam Al -Ghazali yang bergelar Hujjatul
Islam meninggal dikota kelahirannya Thus pada hari Senin 14 Jumadil Akhir 505 H.
(111 M).
PEMIKIRAN TASAWUF BELIAU
Al-Ghazali di kenal sebagai orang yang haus akan segala ilmu pengetahuan. Ia
berusaha sekeras mungkin agar dapat mencapai suatu keyakinan dan mengetahui
hakikat segala sesuatu. Sehingga senantiasa ia bersikap kritis dan kadang ia tidak
percaya terhadap adanya kebenaran semua macam pengetahuan, kecuali yang bersifat
inderawi dan pengetahuan hakikat (oxioma atau sangat mendasar). Namun pada
kedua pengetahuan inipun ia akhirnya tidak percaya (skeptis). Hal ini ia ungkapan
pada kitab Al Mungidz yaitu: Sikap skeptis yang menimpa diriku dan yang
berlangsung lama telah berakhir dengan suatu keadaan, dimana diriku tidak
mempercayai kepada pengetahuan inderawi, bahkan keraguan-keraguan ini semakin
mendalam dengan perkataanya: “Bagaimana pengetahuan inderawi itu bisa diterima.
Seperti misalnya penglihatan sebagai inderawi.
Corak Pemikiran Tasawuf Imam al-Ghozali
Di dalam tasawufnya, Imam al-Ghozali memilih tasawuf sunni yang
berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi, ditambah dengan doktrin Ahlussunnah Wal
Jamaah yang kebangkitannya kembali dipelopori oleh al-Imam Abu al-Hasan Ali bin
Ismail al-Asy’ari. Dari paham tasawufnya itu, beliau menjauhkan semua
kecenderungan genotis yang mempengaruhi para filosuf Islam, sekte Isma'iliyah,
aliran Syi’ah, Ikhwan al-Shofa, dan lain-lain. Beliau menjauhkan tasawufnya dari
paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan. Itulah sebabnya dapat
dikatakan bahwa tasawuf al-Ghozali benar-benar bercorak Islam.
Corak tasawufnya lebih ditekankan pada adab dan tatakrama. Beliau berkata:
Adab adalah pendidikan dhohir dan bathin, oleh karenanya apabila seorang hamba
telah berbuat baik secara dhohir dan bathin maka ia telah menjadi sufi yang beradab.
Barang siapa selalu berperilaku sesuai dengan Sunah maka Allah SWT akan
menerangi hatinya dengan cahaya kemarifatan karena tidak ada kedudukan yang
lebih mulia dari mengikuti Nabi Muhammad yang dicintai Allah dalam perintah,
perbuatan, dan ahlaknya, baik dalam niat, ucapan maupun perbuatan.
Tasawuf Al - Ghazali menghimpun akidah, syariat dan akhlak dalam suatu
sistematika yang kuat dan amat berbobot, karena teori - teori tasawufnya lahir dari
kajian dan pengalaman pribadi setelah melaksanakan suluk dalam riyadhah dan
mujahadah yang intensif dan berkesinambungan, sehingga dapat dikatakan bahwa
seumur hidupnya ia bertasawuf.
Dalam pandangannya, Ilmu Tasawuf mengandung 2 bagian penting, pertama
menyangkut ilmu mu'amalah dan bagian kedua menyangkut ilmu mukasyafah, hal ini
diuraikan dalam karyanya Ihya 'Ulumiddin, Al -Ghazali menyusun menjadi 4 bab
utama dan masing-masing dibagi lagi kedalam 10 pasal yaitu :
· Bab pertama : tentang ibadah (rubu' al - ibadah)
· Bab kedua : tentang adat istiadat (rubu' al - adat)
· Bab ketiga : tentang hal -hal yang mencelakakan (rubu' al - muhlikat)
· Bab keempat : tentang maqamat dan ahwal (rubu' al - munjiyat)
Menurutnya, perjalanan tasawuf itu pada hakekatnya adalah pembersihan diri
dan pembeningan hati terus menerus sehingga mampu mencapai musyahadah. Oleh
karena itu ia menekankan pentingnya pelatihan jiwa, penempatan moral atau akhlak
yang terpuji baik disisi manusia maupun Tuhan.
KARYA-KARYA BELIAU
Karya al-ghaazali telah menghhasilkan karya-karya cemerlang, dan tidak
heran Karya Al-Ghozali diperkirakan mencapai 300 karangan, diantaranya adalah:
1. Maqashid al-Falasifah (tujuan-tujuan para filusuf
2. Tahafut al-Falasifah ( kekacauan pikiran para filusuf )
3. Mi’yar al-‘ilm (kriteria ilmu-ilmu)
4. Ihya’ ‘ulumudin (menghidupkan kembali ilmu–ilmu agama) yang merupakan
karyanya terbesar yang dikarangnya selama beberapa tahun di damaskus,
yerussalem, hijaz, dan thus yang berisi antara fikih, tasawuf, dan filsafat.
5. Al-Munaqidz min al – Dhalal ( Penyelamat dari kesesatan)
6. Al-Ma’rifat al-Aqliyah (pengetehuan yang rasional)
7. Misykat al-Anwar (lampu yang bersinar banyak)
8. Minhaj al-‘Abidin (jalan mengabdikan diri kepada Tuhan)
9. Al-Iqtishad fi al- ‘itiqad (moderasi dalam aqidah)
10. Ayyuha al-Walad
11. Al-Mustahfa
12. Iljam al-‘awwam ‘an ‘ilm-al-Kalam
13. Mizan al-‘Amal
13/03/2011
Perjalana Menuju Ilahi
Perjalanan Menuju Illahi
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah, yang maha mengetahui seluruh rahasia tersembunyi dan dimana
hati mukminin bergetar tatkala mendengar asma-Nya. Shalawat dan salam semoga
tercurah pada penghulu sekalian Rasul, penyempurna risalah Ilahi beserta keluarganya.
Saya ucapkan banyak terima kasih atas partisipasi rekan jamaah dzikrullah di nusantara
dalam kontribusinya pada syiar Islam di bidangnya masing-masing. Dan kepada bapak H.
Slamet Oetomo, saya juga menghaturkan terima kasih atas wejangannya yang bermanfaat
dalam menuju kehadirat Ilahy.
Dalam kesempatan ini, saya akan sampaikan perjalanan pengalaman keruhanian saya serta
apa dan bagaimana wejangan H. Slamet Oetomo tersebut. Sebelum saya bertemu dengan
Pak Haji, demikian H. Slamet Oetomo biasa dipanggil, saya tinggal di sebuah pesantren di
Bogor. Sebuah pesantren yang menekankan nilai-nilai ajaran tasawufnya Imam Algazaly.
Kami dikondisikan dengan suasana nizham tasawuf yang cukup ketat.
Namun anehnya, semakin dalam saya menekuni dunia tasawuf akhlakiah ini (bukan tarikah
seperti Naqshabandiyah, atau yang lain) justru saya mengalami rasa jenuh yang luar biasa.
Saya merasakan lelah yang sangat hebat. Dalam beribadah dan bersyariat pun terasa
banyak yang masih terlewatkan. Belum lagi tuntutan kualitas dalam melakukannya.
Saya merasa tidak mungkin melaksanakan ajaran Islam secara total yakni melaksanakan
ayat per ayat yang jumlahnya 6666 itu, ditambah lagi dengan hadist yang jumlahnya
mencapai ratusan ribu.
Saya pernah berpikir betapa ajaran Islam ini susah sekali untuk diamalkan, padahal
kita terlanjur tahu tentang segala kewajiban harus dilakukan .Baik yang berupa larangan
maupun perintah.
Dan didalam Alquran sendiri dalam surat Al-Baqarah 208 menyatakan : Wahai orang
yang beriman masuklah kalian dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut
langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu.
Tiba-tiba saya menjadi sangat ngeri membaca peringatan ayat ini. Sebab kata “Kaafah”
dalam ayat tersebut berarti keseluruhan ajaran Islam, dimana dalam pemahaman saya,
kita harus melaksanakan ajaran Islam ini dengan total tanpa pilih-pilih lagi. Namun, terasa
sekali betapa berat dalam merealisasikan tuntutan Al Qur’an tersebut, padahal saya
sudah berupaya dengan sungguh-sungguh.
Mulai dari menjaga pandangan dari perbuatan maksiat serta shalat-shalat sunnah dengan
diiringi puasa nabi dawud dan mendawamkan wudhu’, sampai-sampai di tengah banyak
orang tidur lelap, saya tidak ketinggalan tahajjud. Keadaan ini saya lakukan selama
bertahun-tahun, namun begitu melihat bahwa ajaran Islam tidak hanya itu, saya pun
mengalami kebingungan. Karena terasa bahwa saya masih jauh dari kata ‘kaffah’.
Terus apanya yang salah?
Mulailah saya bertanya dalam diri, apakah ada yang salah dalam ibadah saya? Saya
berpikir bahwa hanya diri saya yang mengalami kegelisahan tersebut namun ternyata
banyak keluhan serupa terlontar dari ikhwan-ikhwan yang juga ketat dalam menjaga
syariat.
Kalaulah saya tidak takut dosa mungkin saya akan mencari jalan lain untuk mendapatkan
kedamaian dan ketentraman. Saya juga mengintip apa yang dilakukan orang lain dalam
mencari kedamaian dan ketentraman. Dari sekian banyak yang saya temui melihat perilaku
orang lain dalam mencari solusi.
Tidak salah lagi kebathinan dan dunia klenik mistis perdukunan jadi pelabuhan jiwanya.
Sementara sebagian lagi terjebak oleh retorika ilmiah yang disajikan dengan memisahkan
tidak ada hubungannya dengan agama sama sekali., apalagi dengan dunia mantra-mantra.
Dalam hal ini saya tidak akan membahas mengenai bagaimana dan tidak akan membuka
perdebatan masalah apa yang dilakukan orang lain. Dari pergolakan jiwa saya yang
menggelegak itulah saya bertemu dengan H. Slamet Oetomo.
Lewat butiran mutiara nesehatnya itulah, saya mengambil kesimpulan bahwa tidak akan
pernah ada dan mampu manusia di kolong semesta ini untuk berIslam dengan ‘kaffah’,
kecuali mendapatkan karunia dan bimbingan Allah secara langsung.
Didalam renungan saya yang sangat mengherankan. Betapa tidak, sedikitpun saya tidak
pernah merencanakan benci atau marah terhadap seseorang yang menyinggung hati. Tapi
kenapa benci dan marah itu datang tanpa bisa saya cegah. Namun sebaliknya kenapa untuk
berbuat baik dan ikhlash harus memerlukan tenaga dan upaya yang sangat luar biasa.
Kenapa kebaikan tidak menjadi terasa ringan dan mudah sehingga tak terasa beban dalam
fikiran maupun perasaan. Rasa marah berganti senyum, rasa benci menjadi kasih sayang,
dari tidak khusyu’ menjadi khusyu’ dan seterusnya. Dan seharusnyalah sifat-sifat baik ini
mengalir seperti ilham yang menuntun perilaku kita.
Suatu malam, saya keluhkan hal ini kepada Allah tentang keletihan hati dan ketidak
mampuan untuk berbuat lebih banyak menjalankan syariat Islam. Saya pasrah dan mohon
bimbingan agar ditunjukkan kejalan yang diridhoi.
Selama ini kita dipaksa untuk percaya terhadap suatu keyakinan tanpa pernah memahami
mengapa kita harus meyakininya. Keadaan inilah yang menyebabkan keyakinan seseorang
akan mudah lepas dan selalu dalam keraguan.
Misalnya begini, si Ahmad memberitahu Salman bahwa gula itu rasanya manis. Berita
dari Ahmad ini adalah bentuk informasi yang memaksa Salman untuk percaya (wajibul
yakin) kemudian dilanjutkan untuk melakukan memakan gula tersebut dan apa yang
dikatakan oleh Ahmad ternyata benar bahwa gula yang baru saja dimakannya rasanya
benar-benar manis.
Pada tingkat ini pengetahuan Salman bertambah dari wajibul yakin menjadi ainul yakin
(merasakan sendiri) kemudian menjadi haqqul yakin, karena ia betul-betul mengalami
secara langsung bukan sekedar katanya si Ahmad. Akan tetapi bahkan Salman sudah
sekaligus mengisbathkan (keyakinan yang tidak bisa diubahkan) kebenaran informasi
tersebut.
Sampai di sini, keyakinan Ahmad dan Salman tidak akan mampu lagi orang lain
mengubahnya walaupun dipenggal leher sekalipun. Nah…keyakinan seperti inilah yang kita
harapkan dalam beribadah kepada Allah serta mempercayai ayat-ayat sampai kepada
keadaan yang sebenarnya (hakikinya).
Dari hasil perbincangan dengan rekan-rekan yang tergabung dalam majlis dzikir ini,
banyak pengalaman yang telah mereka lalui. Apa yang mereka katakan hampir sama
dengan apa yang telah saya lakukan. Dan ternyata mereka juga mengalami hal yang sama
atas perubahan-perubahan dalam manisnya ibadah, sehingga berkembang memasuki
keadaan hakikat yang sebenarnya dari bentuk syariat yang dilakukan.
Anda tidak usah khawatir untuk memasuki dunia iman lantas takut sesat, tidak! Saya
justru hanya mengajak melakukan apa yang telah kita dapatkan, kalau sekiranya ada
amalan yang keluar dari dasar Islam maka anda mempunyai hak untuk menentukan keluar
dari majelis dzikir ini.
Banyak orang terjebak dalam menilai sesuatu. Kita digiring kepada persoalan yang sempit.
Kerohanian tidak banyak dikenal orang Islam lantaran takut sesat seperti Syekh Mansyur
Al Hallaj atau Syekh Siti Jennar yang terkenal dengan ajaran wihdatul wujud atau
manunggaling kawula gusti. Dua orang yang dianggap sesat, menghalangi kita untuk belajar
lebih dalam ilmu hakikat.
Padahal berapa ribu ulama yang tidak sesat dalam belajar menghayati ruhiyah Islamiyah
seperti Hujjatul Islam Imam Alghazaly, Imam Annafiri, Imam Syafi’i, Imam Hambali,
Imam Hanafi, para shahabat rasul, serta Sunan Bonang, Sunan Maulana Malik Ibrahim,
Sunan Kali Jaga yang merupakan guru Syekh Siti Jennar, dan seterusnya yang hidup
dengan ruhiyah Islamiyah.
Tapi mengapa kita hanya mempersoalkan kesesatan dua tokoh tersebut. Kenapa kita tidak
melihat ulama yang tidak sesat seperti yang disebutkan tadi. Ada sentimen apa sehingga
begitu gencarnya mengekspos sesat dan bid’ah terhadap yang sungguh-sungguh dalam
bermujahadah kepada Allah yang Maha Ghaib dan mengatakan belajar ilmu hakikat ini
divonis haram.
Dan yang perlu kita catat, kesesatan itu tidak hanya pada ilmu kerohanian saja. ilmu fiqih,
ilmu ekonomi, ilmu akunting dan ilmu komputer, atau ilmu apa saja dapat dibawa menuju
kesesatan. Kenapa anda tidak pernah takut untuk belajar ilmu akunting, padahal dengan
ilmu ini orang bisa menggunakannya untuk korupsi (maling) juga ilmu yang lainnya.
Semoga kita tidak terpengaruh oleh pendapat sempit yang ia tidak pernah memasuki atau
menghayati kedalaman Islam secara menghujam hingga ke lubuk hati.
Akibatnya kita menjadi korban atas pemberitaan yang tidak seimbang. Islam yang kita
lakukan sekarang menjadi setengah hati, tidak sampai menghunjam ke dalam akar iman
yang sebenarnya. Kita tidak pernah lagi mendengar suara hati kita terharu ketika
berhadapan dengan Allah.
Apakah hati kita berguncang keras tatkala asma Allah disebutkan berkali kali?
Ketakutan kita terhadap pemahaman tasawuf, yang menurut prasangkaan kita akan
tersesat seperti Syekh Mansyur Al Hallaj atau Syekh Siti Jennar, telah membuat asma
Allah tidak lagi mampu menyejukkan dan menggetarkan jiwa. Padahal keadaan itu
merupakan tanda-tanda keimanan seseorang.
Untuk itulah, agar kita tidak terjebak dalam pemahaman sesat seperti di atas, agaknya
kita perlu menengok perjalanan sejarah pengalaman para nabi dan rasul dalam merentas
jalan keruhanian menuju lautan cinta dan kasih sayang Allah SWT.
"Ya Allah, Ajari Kami Ingat Kepada-Mu, Bersyukur & Khusyu' Beribadah"
Segala puji bagi Allah, yang maha mengetahui seluruh rahasia tersembunyi dan dimana
hati mukminin bergetar tatkala mendengar asma-Nya. Shalawat dan salam semoga
tercurah pada penghulu sekalian Rasul, penyempurna risalah Ilahi beserta keluarganya.
Saya ucapkan banyak terima kasih atas partisipasi rekan jamaah dzikrullah di nusantara
dalam kontribusinya pada syiar Islam di bidangnya masing-masing. Dan kepada bapak H.
Slamet Oetomo, saya juga menghaturkan terima kasih atas wejangannya yang bermanfaat
dalam menuju kehadirat Ilahy.
Dalam kesempatan ini, saya akan sampaikan perjalanan pengalaman keruhanian saya serta
apa dan bagaimana wejangan H. Slamet Oetomo tersebut. Sebelum saya bertemu dengan
Pak Haji, demikian H. Slamet Oetomo biasa dipanggil, saya tinggal di sebuah pesantren di
Bogor. Sebuah pesantren yang menekankan nilai-nilai ajaran tasawufnya Imam Algazaly.
Kami dikondisikan dengan suasana nizham tasawuf yang cukup ketat.
Namun anehnya, semakin dalam saya menekuni dunia tasawuf akhlakiah ini (bukan tarikah
seperti Naqshabandiyah, atau yang lain) justru saya mengalami rasa jenuh yang luar biasa.
Saya merasakan lelah yang sangat hebat. Dalam beribadah dan bersyariat pun terasa
banyak yang masih terlewatkan. Belum lagi tuntutan kualitas dalam melakukannya.
Saya merasa tidak mungkin melaksanakan ajaran Islam secara total yakni melaksanakan
ayat per ayat yang jumlahnya 6666 itu, ditambah lagi dengan hadist yang jumlahnya
mencapai ratusan ribu.
Saya pernah berpikir betapa ajaran Islam ini susah sekali untuk diamalkan, padahal
kita terlanjur tahu tentang segala kewajiban harus dilakukan .Baik yang berupa larangan
maupun perintah.
Dan didalam Alquran sendiri dalam surat Al-Baqarah 208 menyatakan : Wahai orang
yang beriman masuklah kalian dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut
langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu.
Tiba-tiba saya menjadi sangat ngeri membaca peringatan ayat ini. Sebab kata “Kaafah”
dalam ayat tersebut berarti keseluruhan ajaran Islam, dimana dalam pemahaman saya,
kita harus melaksanakan ajaran Islam ini dengan total tanpa pilih-pilih lagi. Namun, terasa
sekali betapa berat dalam merealisasikan tuntutan Al Qur’an tersebut, padahal saya
sudah berupaya dengan sungguh-sungguh.
Mulai dari menjaga pandangan dari perbuatan maksiat serta shalat-shalat sunnah dengan
diiringi puasa nabi dawud dan mendawamkan wudhu’, sampai-sampai di tengah banyak
orang tidur lelap, saya tidak ketinggalan tahajjud. Keadaan ini saya lakukan selama
bertahun-tahun, namun begitu melihat bahwa ajaran Islam tidak hanya itu, saya pun
mengalami kebingungan. Karena terasa bahwa saya masih jauh dari kata ‘kaffah’.
Terus apanya yang salah?
Mulailah saya bertanya dalam diri, apakah ada yang salah dalam ibadah saya? Saya
berpikir bahwa hanya diri saya yang mengalami kegelisahan tersebut namun ternyata
banyak keluhan serupa terlontar dari ikhwan-ikhwan yang juga ketat dalam menjaga
syariat.
Kalaulah saya tidak takut dosa mungkin saya akan mencari jalan lain untuk mendapatkan
kedamaian dan ketentraman. Saya juga mengintip apa yang dilakukan orang lain dalam
mencari kedamaian dan ketentraman. Dari sekian banyak yang saya temui melihat perilaku
orang lain dalam mencari solusi.
Tidak salah lagi kebathinan dan dunia klenik mistis perdukunan jadi pelabuhan jiwanya.
Sementara sebagian lagi terjebak oleh retorika ilmiah yang disajikan dengan memisahkan
tidak ada hubungannya dengan agama sama sekali., apalagi dengan dunia mantra-mantra.
Dalam hal ini saya tidak akan membahas mengenai bagaimana dan tidak akan membuka
perdebatan masalah apa yang dilakukan orang lain. Dari pergolakan jiwa saya yang
menggelegak itulah saya bertemu dengan H. Slamet Oetomo.
Lewat butiran mutiara nesehatnya itulah, saya mengambil kesimpulan bahwa tidak akan
pernah ada dan mampu manusia di kolong semesta ini untuk berIslam dengan ‘kaffah’,
kecuali mendapatkan karunia dan bimbingan Allah secara langsung.
Didalam renungan saya yang sangat mengherankan. Betapa tidak, sedikitpun saya tidak
pernah merencanakan benci atau marah terhadap seseorang yang menyinggung hati. Tapi
kenapa benci dan marah itu datang tanpa bisa saya cegah. Namun sebaliknya kenapa untuk
berbuat baik dan ikhlash harus memerlukan tenaga dan upaya yang sangat luar biasa.
Kenapa kebaikan tidak menjadi terasa ringan dan mudah sehingga tak terasa beban dalam
fikiran maupun perasaan. Rasa marah berganti senyum, rasa benci menjadi kasih sayang,
dari tidak khusyu’ menjadi khusyu’ dan seterusnya. Dan seharusnyalah sifat-sifat baik ini
mengalir seperti ilham yang menuntun perilaku kita.
Suatu malam, saya keluhkan hal ini kepada Allah tentang keletihan hati dan ketidak
mampuan untuk berbuat lebih banyak menjalankan syariat Islam. Saya pasrah dan mohon
bimbingan agar ditunjukkan kejalan yang diridhoi.
Selama ini kita dipaksa untuk percaya terhadap suatu keyakinan tanpa pernah memahami
mengapa kita harus meyakininya. Keadaan inilah yang menyebabkan keyakinan seseorang
akan mudah lepas dan selalu dalam keraguan.
Misalnya begini, si Ahmad memberitahu Salman bahwa gula itu rasanya manis. Berita
dari Ahmad ini adalah bentuk informasi yang memaksa Salman untuk percaya (wajibul
yakin) kemudian dilanjutkan untuk melakukan memakan gula tersebut dan apa yang
dikatakan oleh Ahmad ternyata benar bahwa gula yang baru saja dimakannya rasanya
benar-benar manis.
Pada tingkat ini pengetahuan Salman bertambah dari wajibul yakin menjadi ainul yakin
(merasakan sendiri) kemudian menjadi haqqul yakin, karena ia betul-betul mengalami
secara langsung bukan sekedar katanya si Ahmad. Akan tetapi bahkan Salman sudah
sekaligus mengisbathkan (keyakinan yang tidak bisa diubahkan) kebenaran informasi
tersebut.
Sampai di sini, keyakinan Ahmad dan Salman tidak akan mampu lagi orang lain
mengubahnya walaupun dipenggal leher sekalipun. Nah…keyakinan seperti inilah yang kita
harapkan dalam beribadah kepada Allah serta mempercayai ayat-ayat sampai kepada
keadaan yang sebenarnya (hakikinya).
Dari hasil perbincangan dengan rekan-rekan yang tergabung dalam majlis dzikir ini,
banyak pengalaman yang telah mereka lalui. Apa yang mereka katakan hampir sama
dengan apa yang telah saya lakukan. Dan ternyata mereka juga mengalami hal yang sama
atas perubahan-perubahan dalam manisnya ibadah, sehingga berkembang memasuki
keadaan hakikat yang sebenarnya dari bentuk syariat yang dilakukan.
Anda tidak usah khawatir untuk memasuki dunia iman lantas takut sesat, tidak! Saya
justru hanya mengajak melakukan apa yang telah kita dapatkan, kalau sekiranya ada
amalan yang keluar dari dasar Islam maka anda mempunyai hak untuk menentukan keluar
dari majelis dzikir ini.
Banyak orang terjebak dalam menilai sesuatu. Kita digiring kepada persoalan yang sempit.
Kerohanian tidak banyak dikenal orang Islam lantaran takut sesat seperti Syekh Mansyur
Al Hallaj atau Syekh Siti Jennar yang terkenal dengan ajaran wihdatul wujud atau
manunggaling kawula gusti. Dua orang yang dianggap sesat, menghalangi kita untuk belajar
lebih dalam ilmu hakikat.
Padahal berapa ribu ulama yang tidak sesat dalam belajar menghayati ruhiyah Islamiyah
seperti Hujjatul Islam Imam Alghazaly, Imam Annafiri, Imam Syafi’i, Imam Hambali,
Imam Hanafi, para shahabat rasul, serta Sunan Bonang, Sunan Maulana Malik Ibrahim,
Sunan Kali Jaga yang merupakan guru Syekh Siti Jennar, dan seterusnya yang hidup
dengan ruhiyah Islamiyah.
Tapi mengapa kita hanya mempersoalkan kesesatan dua tokoh tersebut. Kenapa kita tidak
melihat ulama yang tidak sesat seperti yang disebutkan tadi. Ada sentimen apa sehingga
begitu gencarnya mengekspos sesat dan bid’ah terhadap yang sungguh-sungguh dalam
bermujahadah kepada Allah yang Maha Ghaib dan mengatakan belajar ilmu hakikat ini
divonis haram.
Dan yang perlu kita catat, kesesatan itu tidak hanya pada ilmu kerohanian saja. ilmu fiqih,
ilmu ekonomi, ilmu akunting dan ilmu komputer, atau ilmu apa saja dapat dibawa menuju
kesesatan. Kenapa anda tidak pernah takut untuk belajar ilmu akunting, padahal dengan
ilmu ini orang bisa menggunakannya untuk korupsi (maling) juga ilmu yang lainnya.
Semoga kita tidak terpengaruh oleh pendapat sempit yang ia tidak pernah memasuki atau
menghayati kedalaman Islam secara menghujam hingga ke lubuk hati.
Akibatnya kita menjadi korban atas pemberitaan yang tidak seimbang. Islam yang kita
lakukan sekarang menjadi setengah hati, tidak sampai menghunjam ke dalam akar iman
yang sebenarnya. Kita tidak pernah lagi mendengar suara hati kita terharu ketika
berhadapan dengan Allah.
Apakah hati kita berguncang keras tatkala asma Allah disebutkan berkali kali?
Ketakutan kita terhadap pemahaman tasawuf, yang menurut prasangkaan kita akan
tersesat seperti Syekh Mansyur Al Hallaj atau Syekh Siti Jennar, telah membuat asma
Allah tidak lagi mampu menyejukkan dan menggetarkan jiwa. Padahal keadaan itu
merupakan tanda-tanda keimanan seseorang.
Untuk itulah, agar kita tidak terjebak dalam pemahaman sesat seperti di atas, agaknya
kita perlu menengok perjalanan sejarah pengalaman para nabi dan rasul dalam merentas
jalan keruhanian menuju lautan cinta dan kasih sayang Allah SWT.
"Ya Allah, Ajari Kami Ingat Kepada-Mu, Bersyukur & Khusyu' Beribadah"
21/02/2010


Selamat datang di blogs kami home industri konveksi UD Agung Mulia Raya. ini kami bukan pemilik home industri,kami hanyalah karyawan bawahan di bagian bordir. kami membuat blogs ini supaya bisa menjadi lebih meluas industri kami. sebenarnya ingin membuat website,tapi ini saja tanpa sepengetahuan pemilik home industri. kalaulah ini sudah meluas,mungkin boss bertanya tanya "siapa,dari siapa,dari mana". bila anda ingin sharing bersama silakan hubungi kami (dengan catatan anda serius looo.. and menunjukkan blogs ini sebagai bukti).
Home industri konveksi yang sedang mencoba menyebar luaskan hasil produksi konveksi ke penjuru negri indonesia,produksi kami seperti seragam sekolah,dasi,kaos kaki,jasa bordir.dll.
Home industri konveksi yang sedang mencoba menyebar luaskan hasil produksi konveksi ke penjuru negri indonesia,produksi kami seperti seragam sekolah,dasi,kaos kaki,jasa bordir.dll.
Langganan:
Komentar (Atom)
