Misbahul Fadli

As-Saffaat 35-36

Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka:

"Laa ilaaha illallah"

(Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah)

mereka menyombongkan diri,dan mereka berkata:

"Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?"

Powered By Misbahul Fadli

Halaman

13/08/2012

LAILATUL QODAR


kalimat diatas sudah sangat kental dan sering di dengar, terutama ketika masuk bulan Ramadhan popularitas Lailatul Qodar mendapat reting tertinggi. tak hanya kaum ulama yang awalnya jauh dari sajadah berupaya dekat bahkan tidur di atas sajadah.
sekadar bahan diskusi penting ummat islamk memahami betul L...
ailatul Qodar jangan sampai image yang sekarang berkembang seolah Lailatul Qodar itu makhluk sehingga bahasanya menunggu atau mencari Lailatul Qodar. ini pemahaman yang keliru.
dalam kitab Tobaqot al-qubro ada 2 hal yang perlu di perhatikan.
1. ada fadilah Lailatul Qodar, yakni sebagai mana yang difirmankan Alloh swt dan disabdakan Rasululloh saw. siapa saja yang beribadah didalamnya akan mendapat kan pahala segudang. Rasululloh saw mengisyaratkan adanya di malam sepuluh akhir bulan Ramadhan.
2. ada haqikat Lailatul Qodar yakni sebagaimana diisyaratkan ulama-ulama tasawuf, yang dimaksud haqikat lailatul qodar dimana AUQOTUHA KULLUHA LAILATUL QODAR sejatinya semua waktu yang kita laluli harus menjadi Lailatul Qodar artinya lebih baik dari pada ibadah 100 bulan. biskah, insya Alloh bisa.
A'MALU JAWARIH LA TUQBALU ILLA BI'AMALI QOLBI, WA AMALUL QOLBI TUQBALU BIDUNIHA. ARTINYA amal yang dikerjakan anggota badan (syari'at /lahiriah) tidak diterima Alloh manakala hatinya tidak bekerja (berzikir), dan pekerjaan hati (zikrulloh) diterima Alloh walau badannya diam.
agar setiap detik kita merasakan nikmatnya Lailatul Qodar, tidak ada jalan lain kecuali hati kita selalu mengingat Alloh tanpa putus (zikrulloh) karena memang kenyataan Zikir pada dasarnya perbuatan hati. ketika hati berzikir maka amal yang kita kerjakan menjadi amal yang istimewa dihadapan Alloh, jika beramal sementara hatinya sedang lupa kepada Alloh maka tidak akan di pandang apa-apa oleh-Nya.
bisa dibilang yang sudah dapat hakikaty Lailatul Qodar akan mudah mendapatkan fadilah Lailatul Qodar, sebaliknya yang belum mendapatkan hakikat Lailatul Qodar akan sulit mendapatkan fadilahnya.
bagi yang sudah mendapatkan bersyukurlah dengan melaksanakan solat sunnat Lailatul kodar setelah solat tarawih 4 roka'at 2 salam. setiap roka'at selepas fatihah membaca surat Attakasur 1x dan alikhlas 3x.
yang belum dapat mintalah pertolongan Alloh agar diberikan hidayah dan inayah sehingga dapat bertemu dengan orang yang dapat memberikan hakikat lailatul qodar. semoga manpaat, amin

Atus Ludin Mubarok

Minal ‘Aidin wal Faizin

Alhamdulillah, tinggal besok satu hari lagi ummat Islam akan menyelesaikan ibadah puasa Ramadhan. Setelah sebulan penuh berpuasa, maka insya Allah hari Jumat nanti kita akan memasuki bulan Syawal. Alhamdulillah juga, puasa tahun ini di Indonesia tidak terlalu berat sebab meskipun sekarang ini musim kemarau, tetapi hujan turun terus hampir setiap hari karena anomali cuaca. Mulai hari ini sudah banyak orang mengirim SMS lebaran, padahal lebaran masih 2 hari lagi. Saya saja sudah menerima 3 SMS. Diperkirakan besok SMS lebaran yang masuk ke ponsel setiap orang akan makin banyak lagi setelah waktu berbuka puasa yang terakhir (setelah Maghrib). Itu belum termasuk ucapan melalui akun jejaring sosial, email, dan blog. Kalimat apa yang banyak diucapkan orang untuk memberi ucapan selamat Hari Raya Idul Fitri? Kalau bukan “minal aidin walfaizin”, ya “(mohon) maaf lahir dan batin”. Seringkali penulisan kedua kalimat itu disatukan menjadi “minal aidin walfaizin, (mohon) maaf lahir dan batin”. Bagi orang yang tidak mengerti Bahasa Arab mungkin beranggapan bahwa “minal aidin walfaizin” itu artinya “maaf lahir dan batin”. Bukan saudara-saudara. Tadi saya mendapat email dari milis sebelah yang menjelaskan arti “minal aidin walfaizin”. Berikut saya kutipkan sebagian isi email tesrebut” Kata-kata “Minal Aidin wal Faizin” adalah penggalan sebuah doa dari doa yang lebih panjang yang diucapkan ketika kita selesai menunaikan ibadah puasa yakni : “Taqabbalallahu minna wa minkum wa ja’alanallahu minal ‘aidin wal faizin” yang artinya “Semoga Allah menerima (amalan-amalan) yang telah aku dan kalian lakukan dan semoga Allah menjadikan kita termasuk (orang-orang) yang kembali (kepada fitrah) dan (mendapat) kemenangan”. Sehingga arti sesungguhnya dari “Minal Aidin wal Faizin adalah “Semoga kita termasuk (orang-orang) yang kembali (kepada fitrah) dan (mendapat) kemenangan”. Nah, begitu artinya, mudah-mudahan kita sekarang sudah memahami kalimat itu. Menurut penulis emal tadi, hati-hati juga kesalahan penulisan sebab dalam bahasa Arab berbeda satu huruf saja artinya sudah lain. 1. Minal ‘Aidin wal Faizin = Penulisan yang benar. 2. Minal Aidin wal Faizin = Juga benar berdasar ejaan Indonesia. 3. Minal Aidzin wal Faidzin = Salah, karena penulisan “dz” berarti huruf “dzal” dalam abjad Arab. 4. Minal Aizin wal Faizin = Salah, karena pada kata “Aizin” seharusnya memakai huruf “dal” atau dilambangkan huruf “d” bukan “z”. 5. Minal Aidin wal Faidin = Juga salah, karena penulisan kata “Faidin”, seharusnya memakai huruf “za” atau dilambangkan dengan huruf “z” bukan “dz” atau “d”. Selain ucapan “minal adin wal faizin, diantara kita juga sering menerima ucapan sebagai berikut: Taqabalalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum, yang artinya “Semoga Allah menerima (amalan-amalan) yang telah aku dan kalian lakukan, puasaku dan puasa kalian”. Oh ya, saya juga mendapat email dari teman yang berisi ucapan selamat hari raya, bunyinya cukup unik dan lucu, begini: Selamat datang di penerbangan RAMADHAN AIR, Flight no 1431 H, dng tujuan IDUL FITRI. Jarak tempuh 2 hari lagi, dengan jelajah ketinggian TAQWA tanpa batas. Penerbangan ini bebas asap maksiat. Kenakan sabuk pengaman berlandaskan AL-Qur,an. Tegakkan sandaran kursi keimanan, lipat meja nafsu dan syahwat, Penerbangan ini bebas asap maksiat. Kenakan sabuk pengaman berlandaskan AL-Qur,an. Tegakkan sandaran kursi keimanan, lipat meja nafsu dan syahwat, serta buka jendela sodaqoh melalui infaq dan zakat. Jika cuaca buruk, perbanyak dzikir serta tilawah, dan beramallah secara luar biasa. Matikan semua alat komunikasi dng Syaetan, krn dpt mengganggu sistem navigasi ketaqwaan. Insya Allah kita mencapai tujuan surga. Atas nama awak kabin yang bertugas, Pilot NurulSugiPamilih dan Co-Pilot , mengucapkan SELAMAT HARI RAYA IDUL FITHRI 1431 H.MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN. TAQOBALALLAHU MINNA WAA MINKUM Apapun kalimat ucapan itu, intinya sama yaitu mendoakan orang lain untuk mendapat kebaikan dari Allah SWT. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1431 H, taqabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum, wa ja’alanallahu minal ‘aidin wal faizin”.

11/03/2012

Azzainiyyah: KH. Zezen Zainal Abidin Bazul Asyhab

Azzainiyyah: KH. Zezen Zainal Abidin Bazul Asyhab: kiayi yang sering di sapa akrab dengan panggilan ajengan Zezen ini lahir pada tanggal 17-02-1955.
Sosok kiayi kharismatik dan tidak pern...

11/01/2012

Adab murid terhadap diri sendiri

Yang juga harus diperhatikan oleh seorang murid, yakni adab terhadap dirinya sendiri yang antara lain : 1. Selalu merasa bahwa dirinya senantiasa dilihat/diawasi oleh Alloh Swt dalam segala keadaan, sehingga dapat tersibukk an oleh lafadz Alloh … Alloh … sekalipun sedang melakukan pekerjaan (duniawi) ; 2. Mencari teman bergaul yang baik dan tidak bergaul dengan orang yang buruk perilakunya ; 3. Tidak tamak mengharapkan sesuatu yang ada pada orang lain ; 4. Tidak berlebihan didalam hal makan dan berpakaian ; 5. Tidak tidur didalam keadaan junub (berhadas besar) ; 6. Hendaknya suka melanggengkan wudlu ; 7. Menyedikitkan tidur, terlebih dalam waktu sahur (1/3 malam terakhir) ; 8. Tidak suka mujadalah (berdebat) dalam masalaah ilmu, karena hal itu bisa menjadikan ghoflah (alalai) kepada Alloh Swt dan menjadikan/mengakibatkan buta/gelap hati ; 9. Suka duduk-duduk bersama saudaranya (se jama’ah thoriqoh) ketika hatinya sedang gundah dan menceritakan adab berthoriqoh ; 10. Tidak suka tertawa terbahak-bahak ; 11. Tidak suka membahas perilaku seseorang dan tidak suka bertengkar ; 12. Merasa takut terhadapa siksa Alloh Swt dan senantiasa memohon ampunannya. Dan jangan pernah merasa bahwa amal dan dzikirnya sudah bagus . -

09/01/2012

Tasawwuf dan Kenyataan Sejarah

Introspeksi arti tasawuf meliputi misi, visi, pertumbuh an, factor pendorong kemunculan, dan posisinya sebagai bagian dari epistimologi ; Ada beberapa definisi tasawuf, antara lain didefinisikan sebagai bukan gerak lahir dan bukan pengetahuan, tetapi kebijakan ; Al-Junaidi al-Baghdadi menyatakan bahwa tasawuf adalah penyerahan diri kepada Alloh ; Ada juga yang berpendapat bahwa tasawuf adalah makan sedikit demi mencari kedamaian dalam Dzat Alloh dan menarik diri dari khalayak ramai ; Kalau membaca terus definisi -definisi tasawuf yang ada, kita bias terjebak dalam satu pojok : Tasawuf, kalau begitu sama dengan zuhud ; tasawuf berarti lapar ; Ada yang mengatakan bahwa agar kita tidak cepat dimasuki syetan, kita harus mengosongkan perut sehingga mudah mengendalikan diri ; Akan tetapi ada juga yang secara bers eloroh mengatakan, justru perut harus diisi agar syetan tidak bias masuk ; Ada yang menyimpulkan bahwa tasawuf pada intinya adalah zuhud ; Tasawuf, seolah -olah hanya terkait dengan urusan akhirat , tidak dengan dunia ; reaksinya pada dunia adalah negative dan mengharuskan hidup miskin ; Adakah tasawuf memang demikian ??? Tampaknya kita harus berkunjung ke sarang para sufi ; sebab, belajar tasawuf hanya mendengar saja, sama artinya dengan tidak belajar ; seperti halnya ketika kita belajar mengemudi mobil hanya melalui ceramah saja, tanpa praktik ; Definisi-definisi diatas, tidak menjelaskan tasawuf yang sebenarnya. Definisi tersebut hanya petunjuk saja. Tujuan tasawuf tidak akan dapat difahami dan dijelaskan dengan persepsi apapun, filosofis maupun yang lain. Hanya ke’arifan hati yang mampu memahami sebagian dari banyak seginya. Diperlukan suatu pengalaman rohani yang tidak bergantung pada methode - methode indra ataupun pemikiran. Timbulnya tasawuf dalam Islam bukan sesuatu yang aneh, bahkan wajib ; Kurang ke- Islamannya apabila seseorang tidak mengambil tasawuf ; Nabi saw sebelum menjadi Rasul … adalah seorang sufi,; Beliau saw hidup sederhana, memikirkan kebenaran, merenungkan alam dan bertapa (Uzalah). Fazlur Rohman mengatakan bahwa permulaan gerakan sufi berhubungan dengan satu kelompok muslim yang senang melakukan bertapa ; Mereka senang membaca al -Qur’an dengan cara menangis ; Mereka juga senang bercerita dan cerita-cerita mereka sangat mempengaruhi para pendengarnya ; Akan tetapi yang penting disin i adalah bahwa Nabi saw sebelum menjadi Rasul maupun sesudahnya … adalah seorang sufi. ; Demikian juga halnya para shohabat beliau saw ; Hanya saja, waktu itu belum dikenal yang namanya tasawuf. Urutan riyadlohnya belum dikodifikasikan dan belum dibuat rumusan-rumusan. Sekarang, tasawuf sudah menjadi berbagai thoriqoh, methode -methodenya sudah begitu teratur. Di zaman Rasul saw dan para shohabat, tasawuf belum seperti sekarang. Namun, pada essensinya mereka sama dengan para sufi zaman -zaman selanjutnya. Banyak orang belum begitu faham tentang apa itu tasawuf dan apa itu thoriqoh. Konsekwensinya, kalau kita ingin mengambil tasawuf, pasti kita mengambil thoriqoh, sebab pengamalan tasawuf ada dalam berbagai thoriqoh . ; Apabila tasawuf hanya diartikan sebaga i banyak puasa, tidak mau diajak korupsi, atau hanya diartikan sebagai suatu sikap keilmuan, orang tidak perlu ikut/masuk thoriqoh ; Akan tetapi , apabila tasawuf sudah mencapai pengertiasn riyadloh (latihan dengan menempuh berbagai tingkatan tertentu), or ang harus mengambil thoriqoh. Harus ada bentuknya, apapun namanya, Qodiriyah, Naqsabandiyah, dsbnya. Hal ini penting bila menghadapi anggapan orang yang mengatakan bahwa thoriqoh atau tasawuf bukan ajaran Islam atau bid’ah ; sebelum menjadi Rasul, Nabi M uhammad saw adalah seorang sufi ; Para shohabat yang tinggal di Shuffah -pun tidak diusir oleh Nabi saw , bahkan Nabi saw meminta para shohabat yang lain untuk membantu memberi makan mereka . Ajaran tawakkal didalam al -Qur’an mendorong timbulnya tasawuf ya ng bercirikan zuhud. Tawakkal adalah penyerahan diri. Pentingnya pengalaman spiritual yang ditekankan didalam al-Qur’an juga memberikan pengaruh bagi timbulnya tasawuf. Menurut Fazlur Rohman, Nabi saw benar-benar diperintah oleh Alloh Swt menjadi rosul setelah Beliau saw menyaksikan sesuatu melalui pengalaman -pengalaman spiritual ; Jadi, kesadaran ke-Rasulan justru dimulai dari pengalaman spiritual ; Fazlur Rohman melihat ayat - ayat yang berisi hal-hal spiritual umumnya sebagai ayat -ayat yang diturunkan di Makkah ; Jarang dijumpai ayat-ayat Madaniyah yang berisi pentingnya pengalaman -pengalaman spiritual. Kenyataan ini mengharuskan adanya dasar -dasar keyaqinan dari dorongan pengalaman spiritual terlebih dahulu yang kelak akan menjadi landasan bagi pembangu nan ummat Islam di Madinah . Pengalaman spiritual termasuk sikap tawakkal dan hidup sederhana, bermuara dari zuhud ; Faktor paling dominant yang menyebabkan timbulnya gerakaan tasawuf adalah ajaran zuhud didalam Islam ; ZUHUD = hidup sederhana . Perkembangan tasawuf mempunyai makna yang khusus ketika muncul guru -guru sufi ; Pada tahap pertama, berjalanlah tasawuf dalam arti zuhud dan ibzdzh-ibzdzh sunnah . Hal ini sudah terjadi di zaman Nabi saw ; Tahap kedua muncul guru -guru sufi yang sudah mencapai tingkatan tinggi. Mereka mengajarkan wirid dan thoriqohnya. ; Sebelum masa al-Ghozali-pun, jenis-jenis thoriqoh ; Lalu ada perkembangan yang sangat berarti di zaman al -Ghozali ayang berjalan cukup panjang . Pada masa itu tasawuf sudah berbeda dari sebelumnya , karena sudah bercampur dengan filsafat. Di kalangan Syi’ah, tradisi tasawuf kuat sekali, disertai dengan filsafat dan fiqih ortodoks yang kokoh. Fikiran Syi’ah memang agak ganjil. Fiqih Syi’ah kadang -kadang tampak rasional dan kadang-kadang tampak kaku sekali. Filsafat mereka juga kadang -kadang rasional sekali dan kadang-kadang justru bercampur dengan irfan sehingga tidak tampak lagi cirri rasionalnya. Kesimpulannya, bahwasanya tasawuf memang sudah ada sejak zaman Nabi saw, namun sa’at itu belum di modifikasi seperti pada sa’at ini. Jadi … bagi siapapun yang tidak sefaham dengan doktrin tasawuf, apalagi sampai berkata bahwa tasawuf itu bid’ah, berarti dia tidak membaca dan memetik intisari sejarah yang penuh hikmah dan arti .

FITNAH

Fitnah adalah cobaan dan ujian. Dosa syirik disebut fitnah dan kekufuran juga dise-but fitnah. Alloh berfirman dalam kitab-Nya: "Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi." (Al-Baqarah: 193) Yaitu sehingga tidak ada lagi syirik dan kekufuran. Dalam ayat lain Alloh berfirman: "Kalau (Yatsrib) diserang dari segala penjuru, ke-mudian diminta kepada mereka supaya murtad, niscaya mereka mengerjakannya." (Al-Ahzab: 14) Namun istilah fitnah lebih banyak diucapkan un-tuk sesuatu berupa bala dan cobaan yang kerap kali memperdaya dan menyimpangkan banyak orang dari jalan yang lurus. Sementara mereka tidak mampu mengatasinya, akhirnya mereka larut bersama bala dan cobaan tersebut. Itulah cobaan dan bala yang menye-satkan yang sangat dikhawatirkan Rasululloh shallAllohu 'alaihi wasallam atas umatnya. Dalam sebuah hadits shahih beliau bersabda: "Menjelang hari Kiamat nanti bakal terjadi fitnah-fitnah seperti potongan malam kelam. Pada saat itu seseorang beriman pada pagi hari dan menjadi kafir pada sore harinya, beriman pada sore hari dan menjadi kafir pada pagi harinya. Ia menjual agamanya dengan materi dunia." (HR: Abu Dawud dan Ibnu Majah) Maknanya apabila fitnah tersebut telah menimpa seseorang, ia akan terpedaya dan selanjutnya sesat serta menyimpang dari kebenaran dan petunjuk, ia menjual agamanya dengan materi dunia! Fitnah-fitnah seperti ini telah banyak kita saksikan pada hari ini. Oleh karena itu yang dapat bertahan dan sabar dalam menghadapinya hanyalah orang-orang yang diteguhkan Alloh dan diberi-Nya karunia ilmu dan pengetahuan.

Pemikir Tasawwuf

Al-Ghazali di kenal sebagai orang yang haus akan segala ilmu pengetahuan. Ia berusaha sekeras mungkin agar dapat mencapai suatu keyakinan dan mengetahui hakikat segala sesuatu. Sehingga senantiasa ia bersikap kritis dan kadang ia tidak percaya terhadap adanya kebenaran semua macam pengetahuan, kecuali yang bersifat inderawi dan pengetahuan hakikat (oxioma atau sangat mendasar). Namun pada kedua pengetahuan inipun ia akhirnya tidak percaya (skeptis). Hal ini ia ungkapan pada kitab Al Mungidz yaitu: Sikap skeptis yang menimpa diriku dan yang berlangsung lama telah berakhir dengan suatu keadaan, dimana diriku tidak mempercayai kepada pengetahuan inderawi, bahkan keraguan-keraguan ini semakin mendalam dengan perkataanya: “Bagaimana pengetahuan inderawi itu bisa diterima. Seperti misalnya penglihatan sebagai inderawi. Corak Pemikiran Tasawuf Imam al-Ghozali Di dalam tasawufnya, Imam al-Ghozali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi, ditambah dengan doktrin Ahlussunnah Wal Jamaah yang kebangkitannya kembali dipelopori oleh al-Imam Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari. Dari paham tasawufnya itu, beliau menjauhkan semua kecenderungan genotis yang mempengaruhi para filosuf Islam, sekte Isma'iliyah, aliran Syi’ah, Ikhwan al-Shofa, dan lain-lain. Beliau menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan. Itulah sebabnya dapat dikatakan bahwa tasawuf al-Ghozali benar-benar bercorak Islam. Corak tasawufnya lebih ditekankan pada adab dan tatakrama. Beliau berkata: ô€‚³Adab adalah pendidikan dhohir dan bathin, oleh karenanya apabila seorang hamba telah berbuat baik secara dhohir dan bathin maka ia telah menjadi sufi yang beradab. Barang siapa selalu berperilaku sesuai dengan Sunah maka Allah SWT akan menerangi hatinya dengan cahaya kemaô€‚¶rifatan karena tidak ada kedudukan yang lebih mulia dari mengikuti Nabi Muhammad yang dicintai Allah dalam perintah, perbuatan, dan ahlaknya, baik dalam niat, ucapan maupun perbuatan.ô€‚´ Tasawuf Al - Ghazali menghimpun akidah, syariat dan akhlak dalam suatu sistematika yang kuat dan amat berbobot, karena teori - teori tasawufnya lahir dari kajian dan pengalaman pribadi setelah melaksanakan suluk dalam riyadhah dan mujahadah yang intensif dan berkesinambungan, sehingga dapat dikatakan bahwa seumur hidupnya ia bertasawuf. Dalam pandangannya, Ilmu Tasawuf mengandung 2 bagian penting, pertama menyangkut ilmu mu'amalah dan bagian kedua menyangkut ilmu mukasyafah, hal ini diuraikan dalam karyanya Ihya 'Ulumiddin, Al -Ghazali menyusun menjadi 4 bab utama dan masing-masing dibagi lagi kedalam 10 pasal yaitu : · Bab pertama : tentang ibadah (rubu' al - ibadah) · Bab kedua : tentang adat istiadat (rubu' al - adat) · Bab ketiga : tentang hal -hal yang mencelakakan (rubu' al - muhlikat) · Bab keempat : tentang maqamat dan ahwal (rubu' al - munjiyat) Menurutnya, perjalanan tasawuf itu pada hakekatnya adalah pembersihan diri dan pembeningan hati terus menerus sehingga mampu mencapai musyahadah. Oleh karena itu ia menekankan pentingnya pelatihan jiwa, penempatan moral atau akhlak yang terpuji baik disisi manusia maupun Tuhan.

06/01/2012

HAJI KE MEKAH DAN HAJJI ROHANI KE HAKIKAT HATI

Pekerjaan hajji menurut syariat ialah mengunjungi ka'abah di Makkah . Ada beberapa syarat berhubung dengan ibadat hajji: memakai ihram – dua helai kain yang tidak berjahit menandakan pelepasan semua ikatan duniawi; memasuki Makkah dalam keadaan berwuduk; tawaf keliling ka'abah sebanyak tujuh kali tanda penyerahan sepenuhnya; lari-lari anak dari Safa ke Marwah sebanyak tujuh kali; pergi ke Padang Arafah dan tinggal di sana sehingga matahari terbenam; bermalam di Musdalifah; melakukan korban di Mina; meminum air zamzam; melakukan sembahyang dua rakaat berhampiran dengan tempat Nabi Ibrahim a.s pernah berdiri. Bila semua ini dilakukan pekerjaan hajji pun sempurna dan balasannya diperakui. Jika terdapat kecacatan pada pekerjaan tersebut balasannya dibatalkan. Allah Yang Maha Tinggi berfirman: “Sempurnakan hajji dan umrah kerana Allah”. (Surah al-Baqarah, ayat 196). Bila semua itu telah selesai banyak daripada hubungan keduniaan yang ditegah semasa pekerjaan hajji dibolehkan semula. Sebagai tanda selesainya pekerjaan hajji seseorang itu melakukan tawaf terakhir sekali sebelum kembali kepada kehidupan harian. Ganjaran untuk orang yang mengerjakan hajji dinyatakan oleh Allah dengan firman-Nya: “Dan barangsiapa masuk ke dalamnya amanlah ia, dan kerana Allah (wajib) atas manusia pergi ke rumah itu bagi yang berkuasa ke sana ”. (Surah al-‘Imraan, ayat 97). Orang yang sempurna ibadat hajjinya selamat daripada azab neraka. Itulah balasannya. Pekerjaan hajji kerohanian memerlukan persiapan yang besar dan mengumpulkan keperluan-keperluan sebelum memulakan perjalanan. Langkah pertama ialah mencari juru pandu, pembimbing, guru, seorang yang dikasihi, dihormati, diharapkan dan ditaati oleh orang yang mahu menjadi murid itu. Pembimbing itulah yang akan membekalkan murid itu bagi mengerjakan hajji kerohanian, dengan segala keperluannya. Kemudian dia mesti menyediakan hatinya. Untuk menjadikannya jaga seseorang itu perlu mengucapkan kalimah tauhid “La ilaha illa Llah” dan mengingati Allah dengan menghayati kalimah tersebut. Dengan ini hati menjadi jaga, menjadi hidup. Ia hendaklah mengingati Allah dan berterusan mengingati Allah sehingga seluruh diri batin menjadi suci bersih daripada selain Allah. Selepas penyucian batin seseorang perlu menyebutkan nama-nama bagi sifat-sifat Allah yang akan menyalakan cahaya keindahan dan kemuliaan-Nya. Di dalam cahaya itulah seseorang itu diharapkan dapat melihat ka'abah bagi hakikat rahsia. Allah memerintahkan Nabi Ibrahim a.s dan anaknya Nabi Ismail a.s melakukan penyucian ini: “Janganlah engkau sekutukan Aku dengan sesuatu apa pun dan bersihkan rumah-Ku untuk orang-orang tawaf, dan yang berdiri, dan yang rukuk, dan yang sujud”. (Surah al-Hajj, ayat 26). Sesungguhnya ka'abah zahir yang ada di Makkah dijaga dengan bersih untuk para pekerja hajji. Betapa lebih lagi kesucian yang perlu dijaga terhadap ka'abah batin yang ke atasnya hakikat akan memancar. Selepas persediaan itu pekerja hajji batin menyelimutkan dirinya dengan roh suci, mengubah bentuk kebendaannya menjadi hakikat batin, dan melakukan tawaf ka'abah hati, mengucap di dalam hati nama Tuhan yang kedua- “ALLAH”, nama yang khusus bagi-Nya. Ia bergerak dalam bulatan kerana laluan rohani bukan lurus tetapi dalam bentuk bulatan. Akhirnya adalah permulaannya. Kemudian ia pergi ke Padang Arafah hati, tempat batin yang merendahkan diri dan merayu kepada Tuhannya, tempat yang diharapkan seseorang dapat mengetahui rahasia “La ilaha illa Llah”, “Yang Maha Esa, tiada sekutu”. Di sana ia berdiri mengucapkan nama ketiga “HU” – bukan sendirian tetapi bersama-Nya kerana Allah berfirman: “ Dia beserta kamu walau di mana kamu berada”. (Surah al-Hadiid, ayat 4). Kemudian dia mengucapkan nama keempat “HAQ”, nama bagi cahaya Zat Allah – dan kemudian nama kelima “HAYYUN” – hidup Ilahi tang darinya hidup yang sementara muncul. Kemudian dia menyatukan nama Ilahi Yang Hidup Kekal Abadi dengan nama keenam “QAYYUM” – Yang Wujud Sendiri, yang bergantung kepada-Nya segala kewujudan. Ini membawanya kepada Musdalifah yang di tengah-tengah hati. Kemudian dia di bawa ke Mina, rahasia suci, intipati atau hakikat, di mana dia ucapkan nama yang ke tujuh “QAHHAR” – Yang Meliputi Semua, Maha Keras . Dengan kekuasaan nama tersebut dirinya dan kepentingan dirinya dikorbankan. Tabir keingkaran ditiupkan dan pintu kebatilan diterbangkan. Mengenai tabir yang memisahkan yang dicipta dengan Pencipta, Nabi s.a.w bersabda, “Iman dan kufur wujud pada tempat di sebalik arasy Allah. Keduanya adalah hijab memisahkan Tuhan daripada pemandangan hamba-hamba-Nya. Satu adalah hitam dan satu lagi putih”. Kemudian kepada roh suci dicukurkan daripada segala sifat kebendaan. Dengan membaca nama Ilahi ke delapan “WAHHAB” – Pemberi kepada semua, tanpa batas, tanpa syarat – dia memasuki daerah suci bagi Zat. Kemudian dia mengucapkan nama kesembilan “FATTAH” – Pembuka segala yang tertutup. Memasuki ke tempat menyerah diri di mana dia tinggal mengasingkan diri, hampir dengan Allah, dalam keakraban dengan-Nya dan jauh daripada segala yang lain, dia mengucapkan nama yang ke sepuluh “WAHID” – Yang Esa, yang tiada tara , tiada sesuatu menyamai-Nya. Di sana dia mula menyaksikan sifat Allah “SAMAD” – Yang menjadi sumber kepada segala sesuatu. Ia adalah pemandangan tanpa rupa, tanpa bentuk, tidak menyerupai sesuatu. Kemudian tawaf terakhir bermula, tujuh pusingan yang dalam tempoh tersebut dia mengucapkan enam nama-nama yang terakhir dan ditambah dengan nama ke sebelas “AHAD” – Yang Esa. Kemudian dia minum daripada tangan keakraban Allah. “Dan Tuhan mereka membuat mereka meminum minuman asli”. (Surah Insaan, ayat 21) . Cawan yang di dalamnya minuman ini disediakan ialah nama yang kedua belas “SAMAD” – Sumber, yang menunaikan segala hajat, satu-satunya tempat meminta tolong. Dengan meminum dari sumber ini dia melihat semua tabir tersingkap daripada wajah keabadian. Dia mendongak melihat kepada-Nya dengan cahaya yang datang daripada-Nya. Alam ini tiada persamaan, tiada bentuk, tiada rupa. Ia tidak mampu diterangkan, diibaratkan, alam yang tidak ada mata pernah melihatnya, tiada telinga pernah mendengarnya dan tiada hati manusia yang ingat. Kalam Allah tidak didengar dengan bunyi atau dilihat dengan tulisan. Kesukaan yang tiada hati manusia boleh merasai ialah kelazatan menyaksikan hakikat Allah dan mendengar percakapan-Nya: “Kecuali orang yang bertaubat dan beriman serta mengerjakan amal salih, maka mereka itu Allah akan tukarkan kejahatan-kejahatan mereka kepada kebaikan-kebaikan” . (Surah al-Furqaan, ayat 70). Kemudian pekerja hajji itu dibebaskan daripada semua perbuatan yang daripada dirinya dan bebas daripada ketakutan dan dukacita. “Ketahuilah sesungguhnya pembantu-pembantu Allah, tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak akan mereka berdukacita”. (Surah Yunus, ayat 62). Akhirnya tawaf selamat tinggal dilakukan dengan mengucapkan semua nama-nama Ilahi. Kemudian pekerja hajji kembali ke rumahnya, ke tempat asalnya, bumi suci di mana Allah ciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik dan paling indah. Ketika kembalinya itu dia mengucapkan nama kedua belas “SAMAD”, perbendaharaan yang daripadanya semua keperluan makhluk dibekalkan. Itu adalah alam kehampiran Allah. Itulah tempat kediaman pekerja hajji batin, dan ke sanalah mereka kembali. Hanya itulah yang dapat diceritakan sekadar lidah mampu ucapkan dan akal mampu terima. Selepas itu tiada berita yang boleh diberi kerana selebih daripada itu tidak boleh disaksikan, tidak dimengerti, tidak mampu difikir atau diterangkan. Nabi s.a.w bersabda, “ Ada ilmu yang tinggal tetap seumpama khazanah yang tertanam. Tiada siapa yang boleh mengetahuinya dan tiada siapa boleh mendapatkannya melainkan mereka yang menerima ilmu Ilahi”, tetapi bila diperdengarkan kewujudan ilmu demikian, yang ikhlas tidak menafikannya. Manusia yang memiliki pengetahuan biasa mengumpulkan apa yang boleh dikumpulkan di permukaan. Orang yang memiliki ilmu ketuhanan mengeluarkan dasarnya. Hikmah kebijaksanaan orang arif adalah sebenar-benar rahsia bagi Allah Yang Maha Tinggi. Tiada siapa yang tahu apa yang Dia tahu kecuali Dia sendiri. “Sedang mereka tidak meliputi (sedikit pun) daripada ilmu-Nya kecuali apa yang dikehendaki-Nya. Pengetahuan-Nya meliputi langit-langit dan bumi, dan memelihara keduanya tidaklah berat bagi-Nya” . (Surah al-Baqarah, ayat 255). Mereka yang dirahmati, yang dikurniakan sebahagian ilmu-Nya adalah nabi-nabi dan kekasih-Nya yang berjuang untuk datang hampir kepada-Nya. Firman-Nya: “Dia mengetahui rahsia dan yang lebih tersembunyi”. (Surah Ta Ha, ayat 7). “Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia. Kepunyaan-Nya nama-nama yang sangat baik”. (Surah Ta Ha, ayat 8). Dan Allah paling mengetahui.

03/01/2012

ILMU PENGETAHUAN DAN PERKEMBANGAN KEROHANIAN

Ilmu pengetahuan zahir mengenai benda-benda yang nyata dibahagikan kepada dua belas bahagian dan ilmu pengetahuan batin juga dibahagikan kepada dua belas bahagian. Bahagian-bahagian tersebut dibahagikan di kalangan orang awam dan orang khusus, hamba-hamba Allah yang sejati, menurut kadar keupayaan dan kebolehan mereka. Bagi tujuan yang berkaitan dengan kita pembicaraan ilmiah mengenai ini dibuat dalam empat bahagian. Bahagian pertama melibatkan peraturan agama , mengenai kewajipan dan larangan berhubung dengan perkara-perkara dan peraturan-peraturan di dalam dunia ini. Kedua menyentuh soal pengertian atau maksud dalaman serta tujuan kepada peraturan-peraturan tersebut dan bahagian ini dinamakan bidang kerohanian yaitu pengetahuan mengenai perkara-perkara yang tidak nyata. Ketiga mengenai hakikat kerohanian yang tersembunyi yang dinamakan kearifan. Keempat mengenai hakikat dalaman kepada hakikat yaitu mengenai kebenaran yang sebenar-benarnya. Manusia yang sempurna perlu mempelajari semua bidang atau bahagian tersebut dan mencari jalan ke arahnya. Nabi s.a.w bersabda, “Agama ialah pokok, kerohanian adalah dahannya, kearifan (makrifat) adalah daunnya, kebenaran (hakikat) adalah buahnya. Quran dengan ulasannya, keterangannya, terjemahannya dan ibarat-ibaratnya mengandungi semuanya itu” . Di dalam buku al-Najma perkataan-perkataan tafsir, ulasan dan takwil serta terjemahan melalui ibarat dimengertikan sebagai: ulasan terhadap Quran adalah keterangan dan perincian bagi faedah kefahaman orang awam, sementara terjemahan melalui ibarat adalah keterangan tentang maksud yang tersirat yang boleh diselami melalui tafakur yang mendalam serta memperolehi ilham sebagaimana yang dialami oleh orang-orang beriman yang sejati. Terjemahan yang demikian adalah untuk hamba-hamba Allah yang khusus lagi teguh, berterusan di dalam suasana kerohanian mereka dan teguh dengan pengetahuan yang membolehkan mereka membuat pertimbangan yang benar. Kaki mereka teguh berpijak di atas bumi sementara hati dan fikiran mereka menjulang kepada ilmu ketuhanan. Dengan rahmat Allah keadaan berterusan begini yang tidak bercampur dengan keraguan di tempatkan di tengah-tengah hati mereka. Hati yang teguh dalam suasana ini bersesuaian dengan bahagian kalimah tauhid “La ilaha illa Llah” , pengakuan terakhir keesaan. “Dia jualah yang menurunkan Kitab kepada kamu. Sebahagiannya adalah ayat-ayat yang menghukum, yaitu ibu-ibu bagi Kitab, dan (sebahagian) yang lain adalah ayat-ayat yang perlukan takwil. Adapun orang-orang yang di hati mereka ada kesesatan mencari-cari apa yang ditakwil daripadanya kerana hendak membuat fitnah dan kerana hendak membuat takwilnya sendiri padahal tidak mengetahui takwilnya melainkan Allah dan orang-orang yang teguh kuat di dalam ilmu berkata, ‘Kami beriman kepadanya (kerana) semua itu daripada Tuhan kami', dan tidak mengerti melainkan orang-orang yang mempunyai fikiran”. (Surah Imraan, ayat 7) Jika pintu kepada ayat ini terbuka akan terbuka juga semua pintu-pintu kepada alam rahasia batin. Hamba Allah yang sejati berkewajipan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhkan diri daripada larangan-Nya. Dia juga perlu menentang ego dirinya dan membendung kecenderungan jasad yang tidak sehat. Asas penentangan ego terhadap agama adalah dalam bentuk khayalan dan gambaran yang bercanggah dengan kenyataan. Pada peringkat kerohanian ego yang khianat itu menggalakkan seseorang supaya memperakui dan mengikuti sebab-sebab dan rangsangan yang hanya hampir dengan kebenaran (bukan kebenaran yang sejati), walaupun ianya risalat nabi dan fatwa wali yang telah diubah, juga mengikuti guru yang pendapatnya salah. Pada peringkat makrifat ego cuba menggalakkan seseorang supaya memperakui kewalian dirinya sendiri malah ego juga mengheret seseorang kepada mengakui ketuhanannya – dosa paling besar menganggapkan diri sendiri sebagai bersekutu dengan Allah. Allah berfirman: “Tidakkah engkau perhatikan orang yang mengambil hawa nafsunya sebagai tuhan..” (Surah Furqaan, ayat 43). Tetapi peringkat kebenaran sejati adalah berbeda. Ego dan iblis tidak boleh sampai ke sana . Malah malaikat juga tidak sampai ke sana . Sesiapa sahaja kecuali Allah jika sampai ke sana pasti terbakar. Jibrail berkata kepada Nabi Muhamamd s.a.w pada sempadan peringkat ini, “Jika aku mara satu langkah lagi aku akan terbakar menjadi abu”. Hamba Allah yang sejati bebas daripada perlawanan egonya dan iblis kerana dia dilindungi oleh perisai keikhlasan dan kesucian. “Ia (iblis) berkata: Oleh itu demi kemuliaan-Mu, aku akan sesatkan mereka semuanya, kecuali di antara mereka hamba-hamba-Mu yang dibersihkan” . (Surah Shad, ayat 82 & 83). Manusia tidak dapat mencapai hakikat kecuali dia suci murni kerana sifat-sifat keduniaannya tidak akan meninggalkannya sehinggalah hakikat menyata dalam dirinya. Ini adalah keikhlasan sejati. Kejahilannya hanya akan meninggalkannya bila dia menerima pengetahuan tentang Zat Allah. Ini tidak dapat dicapai dengan pelajaran; hanya Allah tanpa pengantaraan boleh mengajarnya. Bila Allah Yang Maha Tinggi sendiri yang menjadi Guru, Dia kurniakan ilmu yang daripada-Nya sebagaimana Dia lakukan kepada Khaidhir. Kemudian manusia dengan kesedaran yang diperolehinya sampai kepada peringkat makrifat di mana dia mengenali Tuhannya dan menyembah-Nya yang dia kenal. Orang yang sampai kepada suasana ini memiliki penyaksian roh suci dan dapat melihat kekasih Allah, Nabi Muhamamd s.a.w. Dia boleh bercakap dengan baginda s.a.w mengenai segala perkara daripada awal hingga ke akhirnya dan semua nabi-nabi yang lain memberikannya khabar gembira tentang janji penyatuan dengan yang dikasihi. Allah menggambarkan suasana ini: “Kerana Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya, maka mereka beserta orang-orang yang diberi nikmat daripada nabi-nabi, siddiqin, syuhada dan salihin dan Alangkah baiknya mereka ini sebagai sahabat rapat”. (Surah Nisaa' ,ayat 69). Orang yang tidak boleh menemui pengetahuan ini di dalam dirinya tidak akan menjadi arif walaupun dia membaca seribu buah buku. Nikmat yang boleh diharapkan oleh orang yang mempelajari ilmu zahir ialah syurga; di sana semua yang dapat dilihat adalah kenyataan sifat-sifat Ilahi dalam bentuk cahaya. Tidak kira bagaimana sempurna pengetahuannya tentang perkara nyata yang boleh dilihat dan dipercayai, ia tidak membantu seseorang untuk masuk kepada suasana kesucian dan mulia, iaitu kehampiran dengan Allah, kerana seseorang itu perlu terbang ke tempat tersebut dan untuk terbang perlu kepada dua sayap. Hamba Allah yang sejati adalah yang terbang ke sana dengan menggunakan dua sayap, iaitu pengetahuan zahir dan pengetahuan batin, tidak pernah berhenti di tengah jalan, tidak tertarik dengan apa sahaja yang ditemui dalam perjalanannya. Allah berfirman melalui rasul-Nya: “Hamba-Ku, jika kamu ingin masuk kepada kesucian berhampiran dengan-Ku jangan pedulikan dunia ini ataupun alam tinggi para malaikat, tidak juga yang lebih tinggi di mana kamu boleh menerima sifat-sifat-Ku yang suci”. Dunia kebendaan ini menjadi godaan dan tipu daya syaitan kepada orang yang berilmu. Alam malaikat menjadi rangsangan kepada orang yang bermakrifat dan suasana sifat-sifat Ilahi menjadi godaan kepada orang yang memiliki kesedaran terhadap hakikat. Sesiapa yang berpuas hati dengan salah satu daripada yang demikian akan terhalang daripada kurniaan Allah yang membawanya hampir dengan Zat-Nya. Jika mereka tertarik dengan godaan dan rangsangan tersebut mereka akan berhenti, mereka tidak boleh maju ke hadapan, mereka tidak boleh terbang lebih tinggi. Walaupun matlamat mereka adalah kehampiran dengan Pencipta mereka tidak lagi boleh sampai ke sana . Mereka telah terpedaya, mereka hanya memiliki satu sayap. Orang yang mencapai kesedaran tentang hakikat yang sebenar, menerima rahmat dan kurniaan dari Allah yang tidak pernah mata melihatnya dan tidak pernah telinga mendengarnya dan tidak pernah hati mengetahui namanya. Inilah syurga kehampiran dan keakraban dengan Allah. Di sana tidak ada mahligai permata juga tidak ada bidadari yang cantik sebagai pasangan. Semoga manusia mengetahui nilai dirinya dan tidak berkehendak, tidak menuntut apa yang tidak layak baginya. Saidina Ali r.a berkata, “Semoga Allah merahmati orang yang mengetahui harga dirinya, yang tahu menjaga diri agar berada di dalam sempadannya, yang memelihara lidahnya, yang tidak menghabiskan masanya dan umurnya di dalam sia-sia”. Orang yang berilmu mestilah menyedari bahawa bayi roh yang lahir dalam hatinya adalah pengenalan mengenai kemanusiaan yang sebenar, iaitu insan yang sejati. Dia patut mendidik bayi hati, ajarkan keesaan melalui berterusan menyedari tentang keesaan – tinggalkan keduniaan kebendaan ini yang berbilang-bilang, cari alam kerohanian, alam rahsia di mana tiada yang lain kecuali Zat Allah. Dalam kenyataannya di sana bukan tempat, ia tidak ada permulaan dan tidak ada penghujung. Bayi hati terbang melepasi padang yang tiada berkesudahan itu, menyaksikan perkara-perkara yang tidak pernah dilihat mata sebelumnya, tiada sesiapa bercerita mengenainya, tiada sesiapa boleh menggambarkannya. Tempat yang menjadi rumah kediaman bagi mereka yang meninggalkan diri mereka dan menemui keesaan dengan Tuhan mereka, mereka yang memandang dengan pandangan yang sama dengan Tuhan mereka, pandangan keesaan. Bila mereka menyaksikan keindahan dan kemuliaan Tuhan mereka tidak ada apa lagi yang tinggal dengan mereka. Bila dia melihat matahari dia tidak dapat melihat yang lain, dia juga tidak dapat melihat dirinya sendiri. Bila keindahan dan kemurahan Allah menjadi nyata apa lagi yang tinggal dengan seseorang? Tidak ada apa-apa! Nabi s.a.w bersabda, “Seseorang perlu dilahirkan dua kali untuk sampai kepada alam malaikat”. Ia adalah kelahiran maksud daripada perbuatan dan kelahiran rohani daripada jasad. Kemungkinan yang demikian ada dengan manusia. Ini adalah keanehan rahsia manusia. Ia lahir daripada percampuran pengetahuan tentang agama dan kesedaran terhadap hakikat, sebagaimana bayi lahir hasil daripada percampuran dua titik air. “Sesungguhnya Kami telah jadikan manusia daripada setitik (mani) yang bergiliran, yang Kami berikan percubaan kepada mereka, iaitu Kami jadikan dia mendengar dan melihat”. (Surah Insaan, ayat 2). Bila maksud menjadi nyata dalam kewujudan ia menjadi mudah untuk melepasi bahagian yang cetek dan masuk ke dalam laut penciptaan dan membenamkan dirinya ke dasar hukum-hukum peraturan Allah. Sekalian alam kebendaan ini hanyalah satu titik jika dibandingkan dengan alam kerohanian. Hanya bila semua ini difahamkan maka kuasa kerohanian dan cahaya keajaiban yang bersifat ketuhanan, hakikat yang sebenar-benarnya, memancar ke dalam dunia tanpa perkataan tanpa suara.

KEROHANIAN ISLAM DAN AHLI SUFI

Sufi adalah perkataan Arab – saf, yang bererti tulen. Alam batin sufi dipersucikan, menjadi tulen dan diterangi oleh cahaya makrifat, penyatuan dan keesaan. Istilah sufi dikaitkan juga dengan bidang kerohanian mereka yang sentiasa berhubung dengan sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w yang dikenali sebagai ‘puak yang memakai baju bulu'. Saf, pakaian bulu yang kasar menggambarkan keadaan mereka yang miskin lagi hina. Kehidupan dunia di dalam kesempatan. Mereka berjimat cermat di dalam makanan, minuman dan lain-lain. Dalam buku ‘al-Majm' ada dikatakan, “Apa yang terjadi kepada ahli suluk yang suci ialah pakaian dan kehidupan mereka sangat sederhana dan hina”. Walaupun mereka kelihatan tidak menarik secara keduniaan tetapi hikmah kebijaksanaan (makrifat) mereka ternyata pada sifat mereka yang lemah lembut dan halus, yang menjadikan mereka menarik kepada sesiapa yang mengenali mereka. Mereka menjadi contoh kepada alam manusia. Mereka berpandukan ilmu Ilahi. Pada pandangan Tuhan mereka berada pada martabat pertama kemanusiaan. Dalam pandangan mereka yang mencari Tuhan puak sufi ini kelihatan cantik walaupun pada zahirnya buruk. Mereka mesti dikenali dan berupaya mengenali, dan mereka dengan mesti dengan cara itu iaitu satu dan semua, kerana mereka semua berada pada makam keesaan dan mesti nyata sebagai satu. Dalam bahasa Arab perkataan tasawwuf, kerohanian Islam, terdiri daripada empat huruf – ‘ta', ‘sin', ‘wau' dan ‘pa' (t,s,w,f). Huruf pertama, t, bermaksud taubat . Ini adalah langkah pertama perlu diambil pada jalan ini. Ia adalah seolah-olah dua langkah, satu zahir dan satu batin . Taubat zahir dalam perkataan, perbuatan dan perasaan, menjaga kehidupan agar bebas daripada dosa dan kesalahan dan cenderung untuk berbuat kebaikan dan ketaatan; meninggalkan keingkaran dan penentangan, mencari kesejahteraan dan kedamaian . Taubat batin dilakukan oleh hati. Penyucian hati daripada hawa nafsu duniawi yang huru hara dan hati bulat berazam mahu mencapai alam ketuhanan. Taubat – mengawasi kesalahan dan meninggalkannya, menyedari kebenaran dan berjuang ke arahnya – membawa seseorang kepada langkah kedua. Langkah kedua ialah keadaan aman dan sejahtera, safa . Huruf ‘s' adalah simbolnya . Dalam peringkat ini juga ada dua langkah perlu diambil. Pertama ialah ke arah kesucian di dalam hati dan kedua pula ke arah pusat hati. Hati yang tenang datang daripada hati yang bebas daripada kesusahan, keresahan yang disebabkan oleh masalah semua kebendaan ini, masalah makan, minum, tidur, perkataan yang sia-sia. Dunia ini seumpama tenaga tarikan bumi, menarik hati ke bawah, dan untuk membebaskan hati daripada masalah tersebut menyebabkan berlaku tekankan kepada hati. Di sana ada pula ikatan-ikatan – hawa nafsu dan kehendak, pemilikan, kasihkan keluarga dan anak-anak – yang mengikat hati seni kepada bumi dan menghalangnya terbang tinggi. Cara membebaskan hati, bagi menyucikannya, adalah dengan mengingati Allah. Pada permulaan ingatkan ini berlaku secara luaran, dengan mengulangi nama-nama Tuhan, menyebutnya kuat-kuat sehingga kamu dan orang lain boleh mendengarnya. Apabila ingatkan kepada-Nya sudah berterusan ingatkan tersebut masuk ke dalam hati dan berlaku di dalam senyap. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang mukmin itu ialah mereka yang apabila disebut (nama) Allah, takutlah hati-hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah menambahkan lagi keimanan mereka, dan kepada Tuhan merekalah mereka kembali” . (Surah Anfaal, ayat 2). Takutkan Allah dalam ayat tersebut bermaksud takut dan harap, hormat dan kasihkan Allah. Dengan ingatan dan ucapan nama-nama Allah hati menjadi jaga dari ketiduran dan kelalaian, menjadi suci bersih dan bersinar. Kemudian bentuk dan rupa dari alam ghaib menyata di dalam hati. Nabi s.a.w bersabda, “Ahli ilmu zahir mendatangi dan menerkam sesuatu dengan akal fikirannya sementara ahli ilmu batin sibuk membersihkan dan menggilap hati mereka”. Kesejahteraan pada pusat rahsia bagi hati diperolehi dengan membersihkan hati daripada segala sesuatu dan menyediakannya untuk menerima Zat Allah semata-mata yang memenuhi ruang hati apabila hati sudah diperindahkan dengan kecintaan Allah. Alat pembersihannya ialah berterusan mengingati dan menyebut di dalam hati, dengan lidah rahsia akan kalimah tauhid “La ilaha illa Llah”. Bila hati dan pusat hati berada dalam suasana tenang dan damai maka peringkat kedua yang disimbolkan sebagai huruf ‘s' selesai. Huruf ketiga ‘w' bermaksud wilayah, suasana kesucian dan keaslian pencinta-pencinta Allah dan sahabat-sahabat-Nya . Keadaan ini bergantung kepada kesucian batin. Allah menggambarkan sahabat-sahabat-Nya dengan firman-Nya: “Ketahuilah, sesungguhnya pembantu-pembantu Allah tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak mereka berdukacita. Bagi merekalah kegembiraan di penghidupan dunia dan akhirat…”. (Surah Yunus, ayat 62 – 64). Seseorang yang di dalam kesucian menyedari sepenuhnya tentang Allah, mencintai-Nya fan berhubungan dengan-Nya. Hasilnya dia diperelokkan dengan peribadi, akhlak dan perangai yang terbaik. Ini merupakan hadiah suci yang dikurniakan kepada mereka. Nabi s.a.w bersabda, “Perhatikanlah akhlak yang mulia dan berbuatlah sesuai dengannya” . Dalam peringkat ini orang yang di dalam kesedaran tersebut meninggalkan sifat-sifat keduniaannya yang sementara dan kelihatanlah dia diliputi oleh sifat-sifat Ilahi yang suci. Dalam hadis Qudsi Allah berfirman: “Bila Aku kasihkan hamba-Ku, Aku menjadi pendengarannya, penglihatannya, percakapannya, pemegangnya dan perjalanannya”. Keluarkan segala-galanya dari hati kamu dan biarkan Allah sahaja yang berada di sana . “Dan katakanlah telah datang kebenaran dan telah lenyap kepalsuan kerana sesungguhnya kepalsuan itu akan lenyap”. (Surah Bani Israil, ayat 81). Bila kebenaran telah datang dan kepalsuan telah lenyap maka selesailah peringkat wilayah. Huruf keempat ‘f' bermakna fana, lenyap diri sendiri ke dalam ketiadaan. Diri yang palsu akan hancur dan hilang apabila sifat-sifat yang suci memasuki seseorang, dan apabila sifat-sifat serta keperibadian yang banyak menghalang tempatnya akan diganti oleh satu sahaja sifat keesaan. Dalam kenyataan hakikat sentiasa hadir. Ia tidak hilang dan tidak juga berkurangan. Apa yang berlaku adalah orang yang beriman menyedari dan menjadi satu dengan yang menciptakannya. Dalam suasana berada dengan-Nya orang yang beriman memperolehi kurniaan-Nya; manusia yang sementara menemui kewujudan yang sebenar dengan menyedari rahsia abadi. “Semua akan binasa kecuali Wajah-Nya”. (Surah Qasas, ayat 88). Cara untuk menyedari hakikat ini ialah melalui anugerah-Nya, dengan kehendak-Nya. Bila kamu berbuat kebaikan semata-mata kerana-Nya dan bersesuaian dengan kehendak-Nya kamu akan menjadi hampir dengan hakikat-Nya, Zat-Nya. Kemudian semua akan lenyap kecuali Yang Esa yang meredai dan yang Dia diredai, bersatu. Perbuatan baik adalah ibu yang melahirkan bayi kebenaran; kehidupan dalam kesedaran bagi manusia yang sebenar-benarnya. “Perkataan yang baik dan perbuatan yang baik naik kepada Allah” . (Surah Fatir, ayat 10). Jika seseorang berbuat sesuatu dan jika kewujudannya bukan untuk Allah sahaja maka dia mengadakan sekutu bagi Allah, dia meletakkan yang lain pada tempat Allah – dosa yang tidak diampunkan yang akan memusnahkannya, lambat atau cepat. Tetapi bila diri dan kepentingan diri fana seseorang itu mencapai peringkat bersatu dengan Allah. Allah menggambarkan makam tersebut: “Sesungguhnya orang-orang yang berbakti (adalah) dalam kebun-kebun dan (dekat) sungai-sungai. Di tempat duduk kebenaran, di sisi Raja Agung yang sangat berkuasa”. (Surah Qamar, ayat 54 & 55). Tempat itu ialah tempat bagi hakikat yang penting, hakikat kepada hakikat-hakikat, tempat penyatuan dan keesaan. Ia adalah tempat yang disediakan untuk nabi-nabi, untuk mereka yang dikasihi oleh Allah, untuk para sahabat-Nya. Allah beserta orang-orang yang benar. Bila kewujudan bersatu dengan wujud yang abadi ia tidak boleh dipandang sebagai kewujudan yang terpisah. Bila semua ikatan keduniaan ditanggalkan dan seseorang itu dalam suasana kesatuan dengan Allah, dengan kebenaran (hakikat) Ilahi, dia menerima kesucian yang abadi, tidak akan tercemar lagi, dan masuk ke dalam golongan: “Mereka itu ahli syurga yang kekal di dalamnya”. (Surah A'raaf, ayat 42). Mereka adalah: “Orang-orang yang beriman dan beramal salih” . (Surah A'raaf, ayat 42). Bagaimanapun: “ Kami tidak memberatkan satu diri melainkan sekadar kuasanya” . (Surah A'raaf, ayat 42). Tetapi seseorang memerlukan kesabaran yang kuat: “Dan Allah beserta orang yang sabar” . (Surah Anfaal, ayat 66).

MAKSUD IBADAT SECARA AMALAN ZAHIR DAN IBADAT BATIN

Lima kali sehari semalam, pada masa yang telah ditentukan, sembahyang diwajibkan kepada sekalian Muslim yang baligh dan berkuasa. Ini diperintahkan oleh Allah: "Kerjakan sembahyang dengan tetap dan akan sembahyang yang terlebih penting ". (Surah al-Baqaraah, ayat 238). Sembahyang menurut peraturan agama (rukun sembahyang) terdiri daripada berdiri, membaca Quran, rukuk, sujud, duduk, membaca dengan kedengaran beberapa doa. Pergerakan dan perbuatan ini melibatkan bahagian-bahagian tubuh, pembacaan diucap dan didengar melibatkan pancaindera dan deria, adalah sembahyang diri zahir. Kerana tindakan diri zahir ini dilakukan berulang-ulang, acapkali, di dalam setiap lima waktu sehari, bahagian pertama menurut perintah Allah "Dirikan sembahyang" , adalah lebih dari satu. Bahagian kedua perintah Allah "terutamanya sembahyang pertengahan" merujuk kepada sembahyang hati, kerana hati berada di tengah-tengah pada kejadian manusia. Tujuan sembahyang ini adalah mendapatkan kesejahteraan pada hati. Hati berada di tengah-tengah, antara kanan dengan kiri, antara hadapan dengan belakang, antara atas dengan bawah, antara kebaikan dnegan keburukan. Hati adalah pusat, titik pengimbang, penengah. Nabi s.a.w bersabda, "Hati anak Adam berada di antara dua jari Yang Maha Penyayang. Dia balikkan ke arah mana yang Dia kehendaki" . Dua jari Allah adalah sifat kekerasan-Nya yang berkuasa menghukum dan sifat keindahan-Nya dan pengasih-Nya yang memberi rahmat dan nikmat. Sembahyang sebenar adalah sembahyang hati. Jika hati lalai daripada sembahyang, sembahyang zahir tidak akan teratur. Bila ini terjadi kesejahteraan dan kedamaian diri zahir yang diharapkan diperolehi daripada sembahyang zahir itu tidak diperolehi. Sebab itu Nabi s.a.w bersabda, "Amalan sembahyang mungkin dengan hati yang diam". Sembahyang adalah penyerahan yang dicipta kepada Pencipta. Ia adalah pertemuan di antara hamba dengan Tuannya. Tempat pertemuan itu ialah hati. Jika hati tertutup, lalai dan mati, begitu juga maksud sembahyang itu, tidak ada kebaikan yang sampai kepada diri zahir daripada sembahyang yang demikian, kerana hati adalah intipati atau hakikat atau zat bagi jasad, semua yang lain bergantung kepadanya. Nabi s.a.w bersabda, " Ada sekeping daging di dalam tubuh manusia, jika ia baik maka baiklah semua anggota tetapi jika ia jahat maka jahat pula anggota. Ketahuilah, itulah hati". Sembahyang yang diperintahkan oleh agama (syariat) dilakukan pada waktu tertentu, lima kali sehari semalam. Sebaiknya dilakukan di dalam masjid secara berhemah, menghadap ka'abah, mengikut imam yang tidak munafik dan tidak ria'. Masa untuk bersembahyang batin tidak mengira masa dan tidak berkesudahan, bagi kehidupan ini dan juga akhirat. Masjid bagi sembahyang ini ialah hati. Jemaahnya ialah bakat-bakat kerohanian, yang mengingat dan mengucapkan nama-nama Allah Yang Esa di dalam bahasa alam batin. Imam sembahyang ini ialah kehendak yang tidak dapat disekat, arah kiblatnya ialah keesaan Allah, yang di mana-mana, dan keabadian-Nya dan keindahan-Nya. Hati yang sejati adalah yang boleh melakukan sembahyang yang demikian. Hati yang seperti ini tidak tidur dan tidak mati. Hati dan roh yang demikian berada di dalam sembahyang yang berterusan, dan manusia yang memiliki hati yang demikian, samada dia dalam jaga atau tidur, sentiasa berbuat kebaktian. Sembahyang batin yang dilakukan oleh hati adalah keseluruhan kehidupannya. Tiada lagi bunyi bacaan, berdiri, rukuk, sujud atau duduk. Pembimbingnya, imam sembahyang itu adalah Rasulullah s.a.w sendiri. Baginda berkata-kata dengan Allah Yang Maha Tinggi, "Engkau yang kami sembah dan Engkau jualah yang kami minta pertolongan". (Surah Fatihaah, ayat 4) . Ayat suci ini ditafsirkan sebagai tanda manusia sempurna, yang melewati atau melepasi dari menjadi kosong, hilang kepada segala kebendaan, kepada suasana keesaan. Hati yang sempurna demikian menerima rahmat yang besar daripada Ilahi. Satu daripada rahmat itu dinyatakan oleh Nabi s.a.w, " Nabi-nabi dan yang dikasihi Allah meneruskan ibadat mereka di dalam kubur seperti yang mereka lakukan di dalam rumah mereka ketika mereka hidup di dalam dunia". Dalam lain perkataan kehidupan abadi hati meneruskan penyerahan kepada Allah Yang Maha Tinggi. Bila sembahyang tubuh badan dan sembahyang diri batin berpadu, sembahyang itu lengkap, sempurna. Ganjarannya besar. Ia membawa seseorang secara kerohanian kepada kehampiran dengan Allah, dan secara zahir kepada peringkat yang paling tinggi mampu dicapai. Dalam alam kenyataan mereka menjadi hamba Allah yang taat. Suasana dalaman pula mereka adalah orang arif yang memperolehi makrifat sebenar tentang Allah. Jika sembahyang zahir tidak bersatu dengan sembahyang batin, ia adalah kekurangan. Ganjarannya hanyalah pada pangkat atau kedudukan, tidak membawa seseorang hampir dengan Allah.